Jumat, 31 Desember 2010

SELEKSI MAHASISWA BARU BERSAMA (SMBB) TELKOM-2011


Untuk ade-ade, teman2 dan kakak2 yang sekarang sedang bingung mau ngelanjutin kuliah kemana dan berminat di dunia IT, mungkin ini bisa bisa menjadi salah satu solusi!! ^_^

Telkom  Professional Development Center (Telkom PDC) didirikan sebagai wujud dedikasi  PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. melalui Yayasan Pendidikan Telkom (YPT) yang secara berkelanjutan turut berkontribusi dalam mencerdaskan dan meningkatkan daya saing bangsa. Salah satu upaya nyata yang dilakukan YPT Group yaitu dengan menyelenggarakan dan pengembangan program-program unggulan di bidang pendidikan dan pelatihan, dimana program-program tersebut dirancang sedemikian rupa dan disempurnakan secara berkelanjutan, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja yang menuntut keahlian yang nyata (the real skills set) dan pengakuan secara internasional.
Dalam 2 dekade terakhir Information & Communication Technology mengalami dinamika dengan perkembangan yang dramatis,  dan sekarang kita telah memasuki  era T.I.M.E. Industry (Telecommunication, Internet, Multimedia, Edutainment/Entertainment). Telkom PDC mencoba menjawab tantangan tersebut diatas dengan menawarkan berbagai jenis dan jenjang program-program training dan sertifikasi professional berstandard internasional, yaitu  :  training dan sertifikasi bidang Telecommunication, Internet, Multimedia, Creative (Edutainment/Entertainment),  manajemen, bisnis, logistik, dan keuangan.



<span>KEUNGGULAN CCDP PROGRAM ( CERTIFIED COMPETENCY DEVELOPMENT & PROFESSIONAL PROGRAM )
</span>

Certified Competency Development and Professional Program (CCDP Program) didisain sebagai solusi atas kesenjangan kompetensi tenaga kerja saat ini dan masa yang akan datang. Program ini sangat revolusioner karena difokuskan pada kebutuhan dan keterampilan yang memadai dan dipersyaratkan sebagai professional dalam waktu yang relatif singkat, sehingga cocok bagi lulusan SMA/SMK/MA atau mahasiswa/alumni PT yang ingin memiliki keterampilan nyata. CCDP Program dirancang untuk menyediakan tenaga ahli yang memiliki pemahaman yang baik dalam aspekaspek teoritis maupun kemampuan keterampilan praktis yang nyata di bidang industry Telecommunication, Internet, Multimedia, dan Creative (Edutainment/Entertainment), atau saat ini lebih dikenal sebagai TIME industry.

Kurikulum CCDP Program didasarkan pada “Professional Certification System”, baik dari IT Vendors maupun dari lembaga-lembaga sertifikasi internasional sehingga yang mampu memberikan keunggulan berstandar internasional bagi lulusan CCDP Program. Untuk pengembangan kurikulum, Telkom PDC melakukan benchmark dengan program-program sejenis di negara-negara kawasan Asia Pasifik dan Eropa untuk menentukan dan mengelaborasi, body of knowledge (BoK), persyaratan dan keterampilan (kompetensi) apa saja yang dibutuhkan dan menjadikan lulusan sukses dalam profesinya.

Setelah menyelesaikan studi para lulusannya mampu :
  1. Memiliki kesiapan bekerja dan memperoleh penghargaan yang baik atas profesionalitasnya.
  2. Memiliki fondasi yang sangat baik untuk pengembangan karir bidang Teknologi Informasi. Multimedia dan Kreatif pada masa yang akan datang.
  3. Memiliki kesempatan sertifikasi internasional dari IT Vendors dan lembaga-lembaga sertifikasi Internasional lainnya.

Selain untuk melayani kalangan professional dari perusahaan-perusahaan, perguruan tinggi/akademisi dan lembaga pemerintahan, Telkom PDC juga memberikan layanan sertifikasi nternasional bagi mahasiswa CCDP Program, sebagai bukti kemampuan (kompetensi) seseorang diakui secara legal formal di dunia internasional dan juga dapat meningkatkan daya saing di dunia kerja. Telkom PDC telah bekerjasama dengan beberapa vendor Teknologi Informasi dan
multimedia, diantaranya Microsoft, Cisco, Oracle, SAP, Adobe Macromedia, Corel dan lembagalembaga sertifikasi internasional seperti : EC Council dan ISACA. Telkom PDC juga telah menjadi
Testing Center untuk Ujian Sertifikasi Internasional, yaitu : Prometric, Certiport, Pearson VUE, Thomson, World of Webmaster.

<span>SISTEM PEMBELAJARAN</span>
  1. Menggunakan Kurikulum berbasis Sistem Sertifikasi Internasional.
  2. Materi perkuliahan disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan industri.
  3. Menggunakan metode pembelajaran 75% Praktek dan Studi Kasus, serta 25% Teori.
  4. Masa Studi yang relatif singkat dengan sistem belajar komprehensif terpadu dengan orientasi meningkatkan keterampilan mahasiswa.
<span>FASILITAS</span>
  1. Courseware yang lengkap sehingga proses belajar mengajar menjadi efektif.
  2. Hotspot  dan akses internet gratis.
  3. Ruang kelas ber-AC dan laboratorium dengan fasilitas multimedia dan networking.
  4. Penggunaan komputer di laboratorium untuk satu komputer satu mahasiswa.
  5. Sistem belajar yang mendukung belajar kapan saja dan dimana saja.

<span>UJIAN MASUK CCDP PROGRAM TELKOM PDC DILAKSANAKAN DENGAN 2 JALUR</span>
  1. Melalui Seleksi Mahasiswa Baru Bersama (SMBB) TELKOM 2010 (lihat lengkap di www.ittelkom.ac.id/smbb)
  2. Melalui Ujian Saringan Masuk (USM) CCDP PROGRAM TELKOM PDC
  3. Melalui Jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDB) dengan menyertakan nilai rapot semester 1 kelas 12 dengan rata-rata adalah 7.0
untuk Informasi lebih lanjut bisa klik alamat web dibawah ini !
http://www.smbbtelkom.ac.id/



Rabu, 29 Desember 2010

RAHASIA-NYA

Aku hanya bisa menangis dengan rasa sakit yang menerkam hatiku dengan seketika, tanpa sedikipun aba-aba. Dia kini telah terbujur kaku, tanpa nyawa, yang terlihat hanya sesungging senyum yang begitu  manis dibibirnya. Wanita shalehah, wanita idaman, calon istriku tercinta. 

“Allahu Rabbi, kenapa Engkau memanggilnya dengan begitu cepat tanpa sempat mengukirkan kenangan indah antara kami berdua dalam ikatan suci?”

Sungguh sesak dan perih hati ini hingga aku tidak sanggup mengendalikan gejolak emosiku. Aisyah, baru kemarin aku bisa melihatmu seutuhnya. Baru kemarin kita sama-sama mencoba baju pengantin kita di sebuah butik, baru kemarin aku melihat senyum termanismu walaupun dari jauh. Baru kemarin aku merasakan sebuah kebahagiaan ketika kau menerima lamaranku tanpa syarat apapun. Wahai Aisyah, sulit aku temukan wanita sepertimu. Tubuh ini benar-benar lemas tidak berdaya mendapati kenyataan yang seperti ini. Semua ini terlalu cepat untukku, terlalu berat, aku belum siap kehilanganmu. 

“Butuh 12 tahun untukku menyimpan rasa yang begitu agung untuknya, tapi kini setelah semuanya terbalas. Kenapa Engkau memanggilnya Ya Rabb? Apa salahku?”dalam hatiku aku mengerang. Kini aku tepat berada di depan mayatnya yang telah terbujur kaku. Bidadariku telah pergi dan takan pernah kembali ke bumi.

Dua belas tahun yang lalu, untuk yang pertama kalinya aku melihat dirinya duduk dengan manis di deretan kursi paling depan dalam penerimaan santri dan santriwati baru di pesantren tempatku menimba ilmu. Wajahnya masih begitu polos seperti  anak-anak yang baru menginjak usia belasan tahun. Sorot matanya begitu indah hingga membuat hatiku berdebar-debar ketika sedang tampil membawakan sebuah nasyid dengan grup nasyidku pada malam penerimaan santri baru itu. Itulah untuk pertama kali aku merasakan sebuah perasaan aneh yang cukup mengganggu hati dan pikiranku, yang mungkin sekarang baru kusadar bahwa itu adalah perasaan cinta yang tak halal. Dengan memohon pertolongan Allah dan keridhoan-Nya, aku menjaga kesucian perasaan ini hingga sekarang. Bukan waktu yang sebentar untukku menjaga perasaan ini, memupuknya dengan rasa takut akan kecemburuan-Nya jika aku terlalu berlebihan mencintainya, membingkainya dengan selalu memohon kerihoan-Nya akan rasa yang kusimpan dalam dan lama seperti ini, sehingga tidak sampai ternoda oleh nafsu. Dengan segala kerinduan yang terkadang sangat menyiksa batin ini. Kini setelah segala rasa yang kumiliki terbalas, sedikitpun aku belum merasakan indahnya rasa itu dalam ikatan halal yang tinggal selangkah lagi. 

“Ijinkan aku membalas rasa yang telah terukir itu dengan memohon ridho-Nya!” itulah kata-kata  yang terucap dari bibirnya setelah aku menceritakan perasaanku pada-Nya seminggu yang lalu. Sunggingan senyumannya benar-benar membuat alam bertasbih memuja keelokan akhlaq dan rupanya yang begitu menawan. Entah ini merupakan teguran dari-Nya, entah ini ujian iman untukku, entah ini kemurkaan-Nya yang tanpa sadar aku telah mencintainya tanpa batas. Aku benar-benar bingung dan galau sekarang ini. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Tubuh itu kini telah sempurna terbungkus baju terakhirnya, baju putih yang bersih, yaitu kain kafan.  

“Aku akan mencoba ikhlaskanmu, De! Demi Allah, sejatinya engkau adalah milik-Nya dan Dia jauh lebih berhak memilikimu seutuhnya dari makhluk-makhluknya di muka bumi ini. Afwan[1] atas rasa ini yang terukir sebelum waktunya.” Air mataku kembali melelah membentuk niaga yang mengalir membasahi pipi ini. Aku benar-benar tidak bisa menahannya walaupun telah bersusah payah aku berusaha.
“Ya Rabb, jangan sampai ini bentuk murka-Mu kepada hamba, karena hamba terlalu mencintainya.”kataku lirih.

Kendaraan terakhir untuk Aisyah telah tiba, rumah peristirahatan terkhirnyapun kini telah siap di tempati. Tubuh itu dimasukannya kedalam keranda yang menjadi kendaraan terkhirnya. Bunda Khadjah, ibunya yang begitu dicintai oleh Aisyah dengan senyumannya mencoba menegarkanku. Dia benar-benar begitu tegar kehilangan anak perempuan satu-satunya yang telah ia lahirkan kedunia dan ia besarkan hingga kini. Dia jauh lebih tegar daripada diriku yang baru mengenalnya.
“Jangan menangis, Nak! Berbahagialah kamu, karena calon istrimu telah menadapatkan tempat yang  terbaik, yang benar-benar layak untuknya,  di sisi pemilik sejati-Nya, dari pada di bumi ini. Walaupun Aisyah telah tiada, kau tetap menantuku yang shaleh.”Kata Bunda Khadjah. Kata-katanya benar-benar membuat bulu  kuduk ini berdiri. Air mata ini menyurut seketika dan semangat ini kembali terpacu walaupun dalam pilu.
“Allahu Rabbi, sesungguhnya Engkau Maha Tahu atas apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Mu. Pilu yang kurasa di hati ini semoga tidak menjadi palu yang siap menikamnya lebih keras lagi, hingga mengores luka dan mengikis keimananku atas keyakinanku akan janji Engkau. Sungguh yang tebaik bagiku, belum tentu terbaik menuruti-Mu. Tapi yang tebaik menurut-Mu, pasti terbaik untukku. Hamba mohon kepada Engkau, Aisyah adalah hamba-Mu yang shalehah, maka tempatkan ia di tempat yang layak untuknya.” Itulah doaku kepada-Nya untuk kebaikanku dan keabaikannya.
*
Tasikmalaya, 12 Desember 2010
Subhanallah, hari ini aku dilamar olehnya. Tak pernah kuduga jikalau kami tertakdir untuk bersatu dalam ikatan suci. Ya Rabb, Engkau tentu tahu apa yang kurasakan selama ini adalah utuh terjaga dan semoga tidak ternoda. Selama dua belas tahun lamanya aku menyimpan rasa ini, selama itu juga aku mencoba berlaku adil atas perasaan ini agar Engkau tak pernah cemburu kepadanya. Dia yang selama ini aku nanti kehadirannya di depan  mata, dia yang selama ini aku nanti kehadirannya dalam dalam setiap doa, dia yang selama ini suara merdunya kurindukan dalam sepi, kini datang dengan segala harapan pasti.
Ya Rabb, aku yakin Engkau tahu selama itu aku terus menantinya tanpa pernah sedikitpun berpaling kepada hamba-Mu yang lain. Hamba mohon kepada Engkau ridhoi rasa ini, ridhoi langkah ini dan ridhoi kami untuk hidup bersama hingga kembali  bertemu di surga-Mu dalam ikatan suci.
Wahai Akhi, maafkan aku yang sebenarnya telah lama menyimpan dan mengukir rasa untukmu. Sungguh demi Allah rasa ini hadir dan tidak mau pergi walaupun telah berusaha kuusir dari hatiku. Tapi kini aku bahagia akhi, karena rasa ini ternyata terbalaskan dengan indah. Semoga Allah ridho dengan segala rencana kita.
Sungguh ijinkan aku mencintaimu karena Allah dan memelihara rasa inipun karena-Nya, wahai Akhi Riyadh, calon suamiku.

Air mata ini semakin sulit saja aku bendung. Tulisan terakhir di diary Aisyah itu membuatku benar-benar merasakan perih di hati ini. Allahu Rabbi, ternyata cinta itu sama-sama bersemi dari dua belas tahun yang lalu. Raka merangkul pundakku. Dia adalah adik kesayangan Aisyah, darinya diary itu aku dapat. Sesak menyeruak menghimpit dadaku hingga sempit dan sulit untukku bernafas. Air mata ini sungguh bagaikan telaga yang sulit untuk aku bendung. Membentuk niaga yang tiada henti mengalir.

“Padahal tadi sewaktu bundamu memberi semangat kepadaku, semangat itu sudah mulai hadir. Tapi kini, aku benar-benar tidak berdaya Raka. Rasanya tidak mungkin aku bisa menemukan lagi wanita seperti kakakmu. Astagfirullah, bagaimana caranya aku ikhlas ya Allah?”aku hanya menangis sesegukan, Raka terus mencoba menabahkanku yang tengah duduk di beranda rumah Aisyah setelah pemakaman Aisyah selesai. 

“Sabar, Akh! Mungkin ini adalah yang terbaik untukmu dan teh Aisyah. Di dunia ini tidak ada yang tahu dengan setiap rencana-Nya. Mungkin ini sudah menjadi takdir teh Aisyah meninggal dengan cara seperti itu.”kata Raka yang dengan susah payah mencoba menegarkan hatiku.

“Tapi kenapa harus dengan kecelakaan yang seperti itu? Aisyah terlalu shalehah dan terlalu baik untuk meninggal dengan cara yang seperti itu. Dan kenapa ia harus meninggal menjelang hari pernikahan kami yang tinggal menghitung hari lagi? Apakah aku tidak layak untuknya?”tangisku semakin menjadi saja. Hati ini rasanya benar-benar perih, bahkan perih dan sakitnya menyebar hingga ke seluruh tubuh.

“Astagfirullah Akh, istighfar! Antum tidak boleh seperti itu. Dalam setiapa rencana dan takdir Allah itu pasti ada hikmahnya. Itu harus menjadi sebuah pelajaran bagi kita bahwa, orang shaleh sekalipun tidak terjamin meninggal dengan keadaan terlentang diatas kasurnya. Mungkin teh Aisyah bukan jodoh yang terbaik untuk orang seshalehmu Akhi! Mungkin Allah telah merencanakan jodoh yang lebih baik untukmu. Bukan karena Engkau tidak layak untuknya, tapi karena engkau lebih layak untuk pilihan Allah yang lain. Bersabarlah, jangan sampai karena ini kau kehilangan imanmu.” Raka menepuk pundakku dan berlalu memasuki rumahnya dengan Air mata yang bercucuran pula.

“Astagfirullahal’adzim, ampuni hamba-Mu ini Ya Allah! Betapa dzolimnya hamba berkata demikian kepada-Mu. Betapa tidak tahu malunya hamba-Mu ini Ya Allah!” dengan langkah gontai aku meninggalkan kediaman Aisyah yang mulai sepi. Seketika hujan mengguyur bumi Tasikmalaya yang kini tengah kelabu atas kepergian Aisyah. Dengan sengaja aku biarkan hujan mengguyur tubuhku. Derasnya hujan benar-benar membasahi wajahku. Air mataku yang masih mengalir seketika hanyut bersama butiran-butiran hujan yang membasahi wajahku.

“Wahai, akhi jika aku harus pergi sekarang. To..tolong ikhlaskan aku dan carilah pendamping hidup yang jauh lebih baik dariku. Yang cintanya padamu, tidak melebihi cintanya kepada Allah. Dan ana mohon cintai ia karena-Nya!” kata-kata terakhir Aisyah di Rumah Sakit sebelum ia meninggal itu kembali terngiang di telingaku. Bagaikan dipukul palu godam terngiangnya kata-kata itu di hati ini. Hujan semakin deras, sederas air mataku saat ini. Gemuruh guruh seakan mewakili gemeruhnya hatiku saat ini.
Hari ini 26 Desember 2010, aku benar-benar berduka atas  kepergian dirinya dari dunia ini. Dan hari ini juga akibat kepergiaannya aku hampir kehilangan keimanku. Untunglah Allah dengan cepat menegurku dengan kasih sayangnya. Hingga keimananku itu tidak ikut terkubur bersama dirinya. Semua kejadian ini begaikan tsunami dasyat yang melanda hidupku. Entah karena hari ini tepat dengan peringatan tsunami yang ke 6 tahun. Entahlah, alasan dibalik semua ini adalah rahasia-Nya.
*
Hampir setahun berlalu, tapi pedih ini masih terasa menyeruak di hati ini. Rasa rinduku semakin menjadi membahana mengisi setiap relung hatiku. Andai saja dirinya masih ada, mungkin sekarang kami telah memiliki anak pertama.

“Astagfirullah, Ya Rabb, bagaimana cara hamba melupakan dan mengikhlaskan Aisyah?” hatiku terlalu perih dan terlalu mencintai dirinya.  Hingga saat ini aku belum menemukan wanita seperti dirinya. Berkali-kali aku mencoba untuk berta’aruf tapi ujungnya selalu sama, aku tidak bisa melanjutkannya ketahap yang jauh lebih serius lagi.

Pukul 00.00, aku beranjak menuju kamar mandi. Kuresapi setiap tetes air yang membasahi anggota wudhuku, sungguh aku merasakan ketenangan yang tiada terhingga ketika galau menerpa dan aku berwudhu. Setelah berwudhu, kugelar sajadahku tidak jauh dari tempat tidurku.

“Allahu Akbar!”setiap sepertiga malam aku memang terbiasa shalat malam. Hanya dengan cara ini segala kegalauan, segala kerinduan kepada Aisyah dan segala rasa sakit yang menggores hatiku setelah kepergian Aisyah, bisa menghilang dan aku mendapatkan kedamaian yang tiada terkiara. Sesungguhnya aku sadar aku belum menajdi hamba-Nya yang baik, aku masih jauh dari apa yang orang-orang katakan tentang keshalehanku. Sungguh aku sangat takut dengan apa yang dibincangkan mereka tentang keshalehan-kesahalehanku yang sungguh tidak layak mereka julukan kepadaku. Aku takut kefuturan menyergap hatiku tanpa aku sadari. Lihatlah sekarang ini pun aku mungkin terjebak dalam kefuturan dan bahkan setahun lalu aku terancam kehilangan keimananku. Betapa aku takut menjadi orang yang merugi yang hidup dalam kefuturan.

“Kullu man ‘alaihaa faaniw, wa yabqoo wajru rabbika dzuljalaa liwal ikrom. Fabi ayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan!”[2] bulu kudukku setika berdiri ketika ayat ini aku bacakan dengan penuh khusuk. Ya Allah, kesedihan ini membuatku lupa bahwa apa yang ada di bumi ini pasti akan binasa. Air mataku mengalir tiada henti. Perasaan sangat berdosa kepada-Nya sudah tidak bisa aku hindari. Setelah delapan rakaat shalat tahajud dan 3 rakaat shalat witir aku kerjakan, aku duduk tertunduk malu di atas sajadahku. Air mataku tidak bisa aku bendung dengan apapun dan cara apapun. Malu rasanya diriku kepada-Nya.  Betapa Allah begitu baik kepadaku selama ini, tapi aku justru melupakan segala kebaikan dan kasih sayangnya karena duka mendalamku ditinggalkan Aisyah untuk selamanya.

“Allahu Rabbi, ampuni segala kelemahan dan kefuturan hamba selama ini. Tanpa sadar hamba telah berjalan jauh melucuti keimananku dan melupakan segala kasih sayang-Mu. Betapa tidak tahu dirinya hamba-Mu ini Ya Rabb. Engkau yang begitu mencintaiku dengan penuh setia, malah hamba acuhkan untuk meratapi kesedihan hamba karena kehilangan dirinya. Allahu Rabbi, hamba akui hamba masih belum ikhlas kehilangan dirinya yang di bumi ini begitu sangat hamba cintai. Hamba tahu sekarang, inilah jalan terbaik untuk hamba. Jikalau Aisyah masih hidup dan menjadi pendamping hamba, mungkin kefuturan hamba akan lebih jauh lagi. Rasa cintaku akan jauh lebih besar kepadanya daripada kepada-Mu.  Dan itu yang sungguh tidak diinginkan-Mu dan Aisyah. Allahu Rabbi, saksikanlah hamba malam ini, detik ini, untuk mengikhlaskannya. Hamba ikhlas Engkau ambil dirinya, hamba ikhlas. De, Akhi ikhlas kau pergi tinggalkan akhi. Tenanglah disana, De!” 


Subhanallah, malam ini Allah benar-benar melapangkan dadaku. Segala kesedihan dan gemuruh di hati ini sirna sudah dalam sekejap mata. Senyum mulai mengembang di bibirku. Walaupun mataku sembab, setidaknya ketenangan dan kedamaian di hati ini telah aku dapatkan kembali. Air mataku mengalir, ini bukanlah air mata duka dan pilu, melainkan air mata kebagiaan atas kemenanganku meraih kedamaian di hati ini. Aku bersujud atas segala anugerah terindah ini. Sujudku bukan sekedar sujud sebagai rasa syukurku kepada-Nya, tapi sebagai bentuk penghambaanku kepada-Nya. Dan aku ingin malam ini menjadi saksi bahwa aku bahagia atas kedamaian yang telah di kembalikan-Nya. Aku berharap jikalau nanti tiba saatnya aku kembali, aku ingin kembali kepada-Nya dengan rasa yang aku miliki sekarang ini.

“Aku ikhlaskan hidup ini kepada-Mu Ya Rabb, dan jikalau Engkau ridho, aku iidak ingin menunda waktu untuk segera kembali kepada-Mu seperti kembalinya Aisyah kepada-Mu!”
.
*
Pagi ini matahari bersinar dengan begitu indahnya menyinari bumi Tasikmalaya. Alam seakan tersenyum manis tanpa sedikitpun beban yang menghimpitnya. Mendung kini tidak terlihat kembali menghiasa pagi di kota ini. Fatimah, Ibunda Riyadh telah cantik dengan gamis kuning keemasannya. Dengan cantik pula dirinya menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya yang begitu dicintainya.

“Assalamu’alaikum, Riyadh!! Bangun, nak! Ummi udah siapin sarapan kesukaanmu.” Kata Ummi Fatimah sambil mengetuk pintu kamar Riyadh yang masih tertutup rapat. Untuk pertama kalinya Fatimah benar-benar merasa heran dengan anak laki-laki satu-satunya yang begitu disayanginya. Riyadh tidak seperti biasanya, jam segini masih menutup pintu kamarnya. Biasanya Riyadh selalu bangun lebih awal daripada dirinya, bahkan dia yang selalu menyiapkan sarapan pagi untuk keluarganya. Dengan perlahan, Fatimah membuka pintu kamar anaknya. Dilihatnya tempat tidur Riyadh yang telah rapih. Fatimah benar-benar kaget tidak mendapati sosok anaknya di tempat tidurnya. Dengan seksama dia mencari sosok Riyadh dan ...

“Astagfirullah, Riyaaadh!!”Fatimah langsung berlari kearah sosok tubuh Riyadh yang telah kaku dalam keadaan bersujud di atas sajadahnya. Dengan panik Fatimah memeriksa, denyut nadi Riyadh dan nafasnya.

“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun! Riyaaaaadh!” dengan lemas Fatimah memeluk Riyadh dengan begitu erat. Bapak Halim, suaminya, dan Laila, adik perempuanya, langsung berhamburan membeluk Ummi Fatimah dan Riyadh yang kini terlah terbujur kaku tanpa nyawa dalam sujudnya kepada Sang Ilahi Rabbi. Riyadh pergi menyusul Aisyah, tepat di tanggal yang sama. 26 Desember. Wajahnya begitu tenang dan bercahaya. Sesungging senyum terukir begitu manis, seakan-akan dirinya telah bertemu dengan sosok yang selama ini begitu dirindukannya. Begitulah kuasa Allah kepada setiap hamba-hambanya. Tidak ada yang tahu bagimana Dia memanggil kembali hamba-hambanya.  Keikhlasan di hati Riyadh telah membuatnya bertemu dengan bidadari yang begitu dicintai. Mungkin Allah tidak  ingin menyatukan mereka di bumi ini. Mungkin Allah ingin menyatukan mereka di tempat yang lebih layak untuk mereka. Keikhlasan Riyadh adalah kunci bagaimana Allah ingin menyatukan mereka disisi-Nya.

Itulah rahasia Allah, tidak ada satupun yang mengetahui apa yang ada dibaliknya. Hanya oleh mereka yang benar-benar ikhlas menjalani setiap cobaannya yang diberikan-Nya, yang mempu memecahkan apa yang ada dibaliknya. Jangan pernah sedikitpun lari dan menjauh dari setiap rencana-Nya, jalanilah segalanya dengan ikhlas untuk membuka tabir di balik rencana yang dirahasiakan-Nya. Karena dengan cara begitulah cara Allah mencintai dan mendidik kita untuk menjadi hamba-Nya yang beriman. Wallahu’alam bisshowab..
-Tamat-
Singaparna, 30 Desember 2010
Created by Tria M Tresna


[1] Afwan = maaf, dalam bahasa arab afwan bisa memiliki dua arti tergantung bagaimana penempatannya. Selain memiliki arti sebagai “maaf”, afwan juga bisa di artikan “sama-sama”.
[2] QS. Ar-Rahman : 26-28. “26. Semua yang ada di bumi itu akan
binasa, 27. Dan tetap kekal zat Tuhan-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. 28. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang akan kamu dustakan.”

Selasa, 14 Desember 2010

D I N I

Wajahnya begitu pucat, kulihat sosoknya berdiri dan berteduh di bawah pohon yang rindang. Tubuhnya basah kuyup, dan badanya menggigil kedingannya di tengah derasnya hujan yang disertai angin kencang dan sambaran petir. Dari arah berlawanan aku terus memandangi gadis kecil penjual coet atau batu yang dibuat khusus untuk mengulek sambal. Tubuh kecilnya seakan tidak menjadi penghalang untuknya membawa beban yang mungkin jauh lebih berat dari beban tubuhnya sendiri. Di sepanjang stopan lampu merah dengan penuh semangat gadis itu menawarkan apa yang dibawanya kepada para pengguna jalan. Tidak jarang terkadang usaha dirinya dan teman-temannya menjual coet-coet itu hanya menjadapat cacian dari mereka yang merasa dirinya kaya dan terpandang.

“Coeeet, coeeet!!! Bu, Pak, mau beli coetnya?”teriak gadis kecil yang tadi berteduh di bawah pohon di sebrang sana. Satu persatu mobil yang berhenti di lampu merah itu ditawarinya dengan penuh semangat. Dari sorot matanya, terpancar sebuah harapan agar coet yang dibawanya bisa terjual walaupun hanya satu saja. Hanya gadis kecil itu yang kulihat begitu semangat, menerobos lebatnya hujan yang mengguyur Riau Junction di pusat kota Bandung ini. Gemeretak giginya yang semakin lama semakin menjadi tidak dipedulikan, seakan-akan semangat yang dimilikinya mampu membakar rasa dingin dan lelah yang menghinggapi tubuh mungilnya.

Sungguh hati ini dibuatnya bergetar begitu hebat. Air mataku tiba-tiba saja menetes membasahi pipi ini. Dulu aku pernah berbincang-bincang dengan salah satu temannya yang usianya jauh lebih tua darinya. Namanya Andri, anak laki-laki berusia kurang-lebih sepuluh tahun. Darinya aku mengetahui bagaimana kisah dibalik perjuangan gadis kecil penjual coet itu.

Namanya Dini, gadis kecil berusia 6 tahun. Dirinya berasal dari lingkungan kumuh di daerah Padalarang, Kabupaten Bandung Barat sana. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, setiap hari gadis sekecil dirinya harus menempuh jarak sejauh itu, hanya untuk menjual beberapa coet yang belum pasti laku tidaknya. Hidup ini keras, maka jika kamu hanya berdiam diri saja, kerasnya akan kamu rasakan jauh lebih keras lagi. Itulah yang bisa aku tangkap dari semangat gadis itu. Ada satu hal membuatku begitu sangat terharu dengan perjuangannya. Dibalik semua perjuangan hidup yang harus dilaluinya, ternyata Dini masih sempat bersekolah di sebuah SD terbuka dan belajar mengaji kepada salah satu ustadz yang sering datang untuk berdakwah di lingkungan kumuhnya. Subhanallah, hati mana yang tidak akan tersentuh dengan kisah gadis kecil penjual coet ini. Di usianya yang begitu sangat kecil, dirinya terpaksa dituntut untuk bertahan melawan kerasnya jaman. Dibalik wajahnya yang masih terlalu polos itu, dirinya dituntut untuk menanggung beban hidupnya  dan keluarga kecilnya di Padalarang sana. Aku tersenyum kecut, melihat pemandangan yang kini jelas di terpampang depan mataku. Dini mungkin hanya segelincir anak-anak kurang beruntung yang sempat terkisahkan keadaannya. Di luar sana, tidak hanya di kota ini. Jakarta bahkan Tasikmalaya sana, jauh lebih banyak lagi Dini-Dini kecil yang nasibnya kurang beruntung.

Sebuah kamera canon, aku keluarkan dari ransel kesayanganku. Dengan hati-hati aku fokuskan kamera itu kearah dirinya yang tengah berjuang membela hidup utuk sesuap nasi yang masih belum pasti ada-tidaknya. Di tengah hujan yang masih deras mengguyur Riau Junction ini, aku tersentak melihatnya masih mampu mengukir senyum ketika dirinya menolak pemberian seorang wanita berjilbab di balik mobil sedan sana. Dengan senyuman mengembang gadis itu berlalu meninggalkan wanita berjilbab yang masih tertegun dengan kejadian yang baru saja dilaluinya. Dengan kamera terfokusku, aku menangkap wanita itu meneteskan air mata ketika  perlahan menutup kaca mobilnya. Aku yakin wanita itu pasti bangga dan terharu dengan apa yang dilakukan gadis itu.

“Subhanallah, dibalik tubuh kecilnya dan kerasnya hidup ini, dirinya ternyata memiliki prinsip hidup yang sangat luar biasa. Gadis kecil yang luar biasa, walaupun susah dirinya tiadak mau mengulurkan tangannya di bawah.”kataku dengan lirih. Dan saat ini rasa kagumku semakin besar saja kepadanya.
                                                                        *
Hari ini nampaknya alam tidak mahu bersahabat dengan penghuni alam ini. Sejak pagi tadi hujan tidak mahu berhenti mengguyur bumi Bandung yang biasanya terasa begitu panas di siang hari. Kaki ini rasanya sudah sangat pegal karena berdiri berjam-jam lamanya untuk menunggu hujan reda. Dini, sang pejuang cilik itu masih terus berjuang dengan penuh semangat menawarkan coetnya kepada para pengendara yang berhenti ketika lampu stopan berwarna merah. Aku kembali memasukan kameraku kedalam ranselku. Entah terlalu lama berbenah dan mengatur posisi kamera di dalam ransel, tanpa sadar aku kehilangan suara dari Dini dan kawan-kawannya. Dengan seksama aku mencari menengok kesana kemari untuk menemukan keberadaan mereka. Anak-anak itu menghilang entah kemana, seakan-akan hilang ditelan bumi.

“Kemana anak-anak itu?”kataku penasaran dengan kehilangan mereka yang secara tiba-tiba itu.  Aku terus mencari dari tempatku berdiri keberadaan anak-anak itu, terutama Dini. Tapi sayang jalanan yang cukup padat menghalangi jarak pandangku untuk mencari mereke. Setelah beberapa saat aku mencari keberadaan mereka yang tidak kunjung  ketemu, aku putuskan untuk pulang saja ke kosan karena hujanpun sudah mulai reda.

Bit putihku kini siap meluncur dijalanan macet Kota Kembang ini bersama para pengendara lainnya. Wajahku saat ini agak aku tekuk karena kecewa tidak menemukan keberadaan mereka sebelum aku pulang. Jalanan hari benar-benar macet, membuat bit-ku terkesan tidak bergerak sedikitpun. Ya pantaslah, selain karena seharian hujan, ini adalah waktu pulangnya jam kerja, jadi tidak heran kalau macetnya begitu parah seperti ini.

Dengan tetap terfokus kepada jalanan, aku mencoba mengulang hafalanku di juz 29. Benar-benar malang dan rugi diriku, kepadatan aktivitasa duniawi membuatku melupakan beberapa ayat dari hafalanku.

Astagfirullah, ighfirii Ya Rabb!”[1]kataku dengan penuh penyesalan. Baru beberapa meter saja aku meninggalkan tempatku berteduh, tanpa sengaja aku menemukan kejadian yang sangat membuatku miris. Usaha keras menembus hujan itu kuliahat begitu sia-sia. Dipojok kota sana, seorang preman sedang bertengger di bawah pohon mengambil dengan paksa uang para pejuang cilik yang berjuang dengan keras sejak tadi siang. Dengan enaknya para preman yang terdiri dari tiga orang itu, meminta uang hasil kerja anak-anak itu dengan embel-embel uang keamanan. Anak-anak kecil itu dibuatnya berjejer mengantri untuk memnyerahkan separuh uang dari hasil kerja keras mereka. Kuparkirkan motorku kembali di tempat yang lumayan aman. Maklumlah ini Bandung, bukan Tasikmalaya, sedikit saja melenceng lenyap sudah roda duamu. Apalagi motorku berlatter Z, pasti menjadi sasaran empuk para pencuri-pencuri nakal yang minta dihajar.
Dini kecil, masih ikut mengantri diantrian paling belakang. Wajahnya terlihat ditekuk, seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Satu-perasatu anak-anak gelandangan itu menyerahkan uang yang berembel-berembel uang keamanan. Dengan seksama aku perhatikan bagaiman preman-preman yang bertubuh besar dan kurus itu memperlakukan dengan kasar anak-anak jalanan yang menjual coet itu. Kini saatnya tiba giliran Dini, gadis kecil itu masih menekukkan kepalanya. Dibalik sebuah pohon, aku terus memperhatikan gerak-gerik yang dilakukan ketiga preman itu kepada anak-anak jalanan penjual coet. Sungguh malang nasib mereka, ternyata selain mereka harus bekerja keras untuk mencukupi biaya hidup mereka, mereka juga dipaksa untuk menyerahkan separuh dari hasil kerja keras mereka kepada orang-orang tidak berguna seperti preman-preman itu. Kali ini aku melihat ada perdebatan diantara Dini dan preman-preman itu. Gadis kecil itu nampaknya dengan susah payah mempertahankan uang hasil kerja kerasnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku dapat menangkap, wajah merah padam sang preman karena marah kepada Dini. Gadis kecil itu di dorongnya dengan keras hingga tubuhnya terbanting ke tanah yang basah. “Astagfirullah!”kataku yang kaget melihat semua kejadian itu. Sungguh aku tidak bisa berdiam diri saja melihat pemandangan yang seperti itu. Kulihat preman itu berjalan ke arah Dini yang masih tersungkruk di atas tanah. Anak-anak yang lain tidak ada satupun yang menolong Dini, termasuk Andri. Gadis itu terlihat begitu keras, terlihat jelas dari mimik wajanya supaya dirinya tidak sampe mengeluarkan air mata. Cacian dan makian seakan sudah menjadi hal yang biasa dalam hidupnya. Kerasnya hidup tidak membuatnya lantas menjadi orang yang senantiasa meratapi nasibnya yang malang. Seorang preman bertubuh tinggi besar, menjambak rambut Dini dengan kasar. Dan melihat semua itu aku benar-benar tidak bisa tinggal diam seperti ini saja. Langkah ini terasa ringan, dengan cepat aku sambar tangan preman bertubuh kekar itu dengan sedikit gerakan beladiriku.

“Apa-apaan ini? Seenaknya aja main jambak-jambak anak orang! Abangnya bukan, apalagi bapaknya! Bapaknya ini anak aja belum tentu suka ngejambak anak ini!”kataku dengan geram. Melihatku mementalkan tangannya dari Dini, wajah sang preman berubah menjadi semakin merah padam. Aku yakin preman ini marah luar biasa. Tapi aku tidak peduli seberapa besar marahnya dia, toh, hidup-matiku tidak ditentukan olehnya.

“Heh, maneh teh saha heuh?awewe-awewe balaga? Ek, jadi jagoan di dieu?”[2]kata preman itu dengan nada marah dan meledek.

“Emang saya udah jago, kok! Terutama jago patahin tulang-tulang milik orang-orang yang tidak berguna dan miskin seperti kalian! Seberapa miskin sih kalian? Buat makan aja kok malakin anak kecil, mereka aja mampu cari uang sendiri! Dasar tidak berguna!”kataku semakin geram.

“Wih,wih,wih, lebar-lebar jilbabnya, pedes juga kata-katanya! Untung cantik, jadi marah-marahpun tetep menggairahkan!”kata preman bertubuh kurus.

“Astagfirullah!”kataku sambil mengusap dada.

Alaah, maneh loba bacot, geuwat sikatlah!”[3]kata pereman yang satunya lagi.

Sebenarnya dalam hati ini ada perasaan takut juga, tapi jauh dilubuk hatiku sana keyakinan akan pertolongan dari yang Maha Kuasa jauh lebih besar melebihi rasa takutku kepada tiga sampah masyakarat itu.

“Akhirnya bisa juga aku lampiasan ilmu-ilmu beladiriku ini!”kataku sambil tersenyum sinis.

Kini keadaan menjadi semakin kian mencekam. Kulihat mata Dini kecil yang melihatku dengan penuh khawatir dan harapan. Aku tersenyum kearah gadis kecil itu, untuk meyakinkannya bahwa aku sanggup melawan mereka. Gadis itu tersenyum dengan getir, sambil mengangguk kearahku.

It’s show times, ayo, jangan banyak omong kalian, ayo maju!”kataku sambil mengumpulkan keberanian.

Seorang preman bertubuh kurus tiba-tiba saja datang menyambar tangan dari arah belakang. Tapi itu bukan masalah untukku, cukup kusikut uluhatinya  dengan tangan kananku, saat dirinya mengaduh, aku putar tubuhku kearah belakang tubuh preman itu, lalu kupukul lehernya dan kusapu kakinya dan BRUUUKKK...kini posisi berbalik, preman itu yang kubuat terkapar tak berdaya. Semua anak jalanan yang menyaksikan aksiku tadi bertepuk tangan dengan semangat, rasa takut mereka sepertinya sudah mulai menghilang seiring berjalannya waktu. Aksiku merobohkan salah satu teman mereka nampaknya membuat dua orang preman yang tersisa cukup geram kepadaku. Wajah mereka berubah menjadi merah padam. Semakin marah mereka semakin asyik aku rasakan. Aku benar-benar menikmati semua itu. Kata ayahku dulu, semakin marah lawan kita, maka semakin lemahlah dirinya. Kenapa demikian karena semakin marah lawan kita maka gerakan tubuh mereka menjadi tidak stabil. Itulah kesempatan bagi mereka yang mampu menjaga hawa nafsunya untuk memanfaatkan situasi yang ada.

Tubuh besar bukan jaminan bagi mereka untuk merobohkan tubuh yang kurus, asalkan kita mampu mengikuti gerakan lawan sehingga tubuh besar itu mampu terobohkan dengan sempurna. Si preman bertubuh besar berkepala botak, dengan amarahnya meyerangku sambil berlari. Tidak perlu banyak gerakan merobohkannya, ketika dirinya menyerang kita dengan gerakan seperti itu, kita cukup menghindar dan sapu kakinya atau tendang selangkaan tulang rusuk dengan tendangan menyamping. Itu sudah cukup membuatnya terpental dan tersungkruk ke tanah. Begitulah beladiri, walaupun kita mengenakan rok, akan terasa mudah jikalah kita bisa mengikuti gerakan lawan kita dan kita mempu mengetahui titik lemah dari lawan kita, segalanya akan terasa mudah. Melihat aksiku tadi, preman yang tangannya sempat aku perintir, nyalinya langsung ciut. Dia lari terpontang panting meninggalkan kedua temannya yang masih blom sadarkan diri.
“OMG, malangnya mereka!”aku benar-benar dibuatnya menggelengkan kepala. Tubuh kurus, jilbab lebar, berrok, kayanya bukan masalah untuk merobohkan tiga preman kampung tak berguna itu.

Aku menghirup nafas panjang, tiba-tiba saja aku di kagetkan dengan pelukan dari arah belakangku.

Teteh!” suara lirih dan bergetar samar-samar aku tangkap dari arah belakangku. Sesuatu yang hangat tiba-tiba saja basah menembus bajuku. Kubalikkan tubuhku, aku benar-benar tertegun melihat gadis kecil itu akhirnya menangis sesegukan sambil memelukku. Dengan perlahan aku usap air matanya dan tersenyum kearahnya.

“Jangan menangis! Teteh, gak apa-apa kok!”kataku mencoba menenangkannya. Gadis itu masih saja larut dalam tangisannya. Aku memeluknya erat, ada ketenangan tersendiri ketika tubuh ini memeluk tubuh mungilnya. Tidak lama dari itu tangisan mulai reda, semua teman-temannya tersenyum dan bersorak senang setelah Dini berhenti menangis.

“Eh, udah berhenti nangisnya!”kataku dengan senyum mengembang. Sederet gigi putihnya tiba-tiba terlihat disertai senyuman mengembangnya. Setelah keadaan mulai aman terkendali dan tenang. Preman-preman itu sudah di amankan oleh keamanan setempat, aku mencoba memberanikan diri untuk menanyakan rasa penasaranku.

“Hmm..boleh teteh tanya?”kataku sambil tersenyum. Dini langsung mengangguk ketika aku mengatakan hal itu.

“Teteh mau tanya apa?”katanya dengan senyuman yang begitu manis.

“Kenapa ade tadi tidak mau menyerahkan uang ade sama preman-preman itu?”kataku dengan begitu penasaran.

“Karena aku mau menolong saudara-saudari kita yang terkena musibah di luar sana, teh! Dan aku tidak mau putus sekolah!”katanya dengan senyuman yang mengembang.

Subhanallah, aku benar-benar tidak mampu mengeluarkan kata-kata apapun. Dengan erat kupeluk tubuh kecil itu dan kucium ubun-ubunnya. Dini, gadis kecil ini memang luar biasa. Setiap kesusahannya, tidak menjadikannya menjadi orang yang lupa untuk membantu sesamanya.  Selain itu semangat belajarnya sungguh tinggi, alangkah malunya jika kita yang terlahir dengan segala fasilitis dan kecukupan yang ada, menyia-nyiakan segalanya yang telah diberikan oleh Sang Ilahi Rabbi. Belajarlah untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Dan berusahalah menghadapi kerasnya kehidupan yang keras. Terima kasih Dini, darimu aku belajar banyak tentang hidup, tentang kepedulian dan tentang memperjuangan mimpi dan harapan.
                                                                        *
Setelah kejadian di Riau Junction itu berakhir dengan indah, aku pun kini bersahabat dengan dini, gadis kecil, sang pejuang cilik. Dini masih dengan segala aktivitasnya, menjual coet dengan penuh semangat bersama teman-temannya. Dan aku kini menjadi guru bagi anak-anak jalanan yang ingin belajar banyak tentang ilmu pengetahuan. Semangat meraka adalah semangatku. Dan semoga kisah ini bisa menjadi pembelajaran bagi para pemimpin negerti ini, bahwa masih banyak anak-anak negeri in yang belum merdeka dari kebodohan, yang belum mendapatkan haknya secara penuh. Masih banyak anak-anak negeri ini yang belum merasakan aman hidup. Malulah bagi para pemimpin negeri ini yang hidupnya hanya memakan gaji buta, yang hidupnya selalu berfoya-foya dengan uang rakyat, atau yang hidupnya ditangan hukum tapi bisa berkeliaran bebas hingga berwisata ke Pulau Dewata.

Kuharap senyum itu dan semangat itu akan terus terukir untuk semua pejuang-pejuang cilik di negeri ini, tidak hanya Dini gadis kecil penjuang coet, tapi juga Dini-Dini lainnya.

                                                            -TAMAT-
Bandung, 11 Desember 2010 (Tria M Tresna)


[1] Astagfirullah, maafkan aku ya rabb!!

[2] “Heh, kamu itu siapa heuh? Jadi perempuan kok belagu? Mau jadi jagoan disini?”

[3] “Alah, kamu banyak bicara, cepat sikat!”