Selasa, 14 Desember 2010

D I N I

Wajahnya begitu pucat, kulihat sosoknya berdiri dan berteduh di bawah pohon yang rindang. Tubuhnya basah kuyup, dan badanya menggigil kedingannya di tengah derasnya hujan yang disertai angin kencang dan sambaran petir. Dari arah berlawanan aku terus memandangi gadis kecil penjual coet atau batu yang dibuat khusus untuk mengulek sambal. Tubuh kecilnya seakan tidak menjadi penghalang untuknya membawa beban yang mungkin jauh lebih berat dari beban tubuhnya sendiri. Di sepanjang stopan lampu merah dengan penuh semangat gadis itu menawarkan apa yang dibawanya kepada para pengguna jalan. Tidak jarang terkadang usaha dirinya dan teman-temannya menjual coet-coet itu hanya menjadapat cacian dari mereka yang merasa dirinya kaya dan terpandang.

“Coeeet, coeeet!!! Bu, Pak, mau beli coetnya?”teriak gadis kecil yang tadi berteduh di bawah pohon di sebrang sana. Satu persatu mobil yang berhenti di lampu merah itu ditawarinya dengan penuh semangat. Dari sorot matanya, terpancar sebuah harapan agar coet yang dibawanya bisa terjual walaupun hanya satu saja. Hanya gadis kecil itu yang kulihat begitu semangat, menerobos lebatnya hujan yang mengguyur Riau Junction di pusat kota Bandung ini. Gemeretak giginya yang semakin lama semakin menjadi tidak dipedulikan, seakan-akan semangat yang dimilikinya mampu membakar rasa dingin dan lelah yang menghinggapi tubuh mungilnya.

Sungguh hati ini dibuatnya bergetar begitu hebat. Air mataku tiba-tiba saja menetes membasahi pipi ini. Dulu aku pernah berbincang-bincang dengan salah satu temannya yang usianya jauh lebih tua darinya. Namanya Andri, anak laki-laki berusia kurang-lebih sepuluh tahun. Darinya aku mengetahui bagaimana kisah dibalik perjuangan gadis kecil penjual coet itu.

Namanya Dini, gadis kecil berusia 6 tahun. Dirinya berasal dari lingkungan kumuh di daerah Padalarang, Kabupaten Bandung Barat sana. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, setiap hari gadis sekecil dirinya harus menempuh jarak sejauh itu, hanya untuk menjual beberapa coet yang belum pasti laku tidaknya. Hidup ini keras, maka jika kamu hanya berdiam diri saja, kerasnya akan kamu rasakan jauh lebih keras lagi. Itulah yang bisa aku tangkap dari semangat gadis itu. Ada satu hal membuatku begitu sangat terharu dengan perjuangannya. Dibalik semua perjuangan hidup yang harus dilaluinya, ternyata Dini masih sempat bersekolah di sebuah SD terbuka dan belajar mengaji kepada salah satu ustadz yang sering datang untuk berdakwah di lingkungan kumuhnya. Subhanallah, hati mana yang tidak akan tersentuh dengan kisah gadis kecil penjual coet ini. Di usianya yang begitu sangat kecil, dirinya terpaksa dituntut untuk bertahan melawan kerasnya jaman. Dibalik wajahnya yang masih terlalu polos itu, dirinya dituntut untuk menanggung beban hidupnya  dan keluarga kecilnya di Padalarang sana. Aku tersenyum kecut, melihat pemandangan yang kini jelas di terpampang depan mataku. Dini mungkin hanya segelincir anak-anak kurang beruntung yang sempat terkisahkan keadaannya. Di luar sana, tidak hanya di kota ini. Jakarta bahkan Tasikmalaya sana, jauh lebih banyak lagi Dini-Dini kecil yang nasibnya kurang beruntung.

Sebuah kamera canon, aku keluarkan dari ransel kesayanganku. Dengan hati-hati aku fokuskan kamera itu kearah dirinya yang tengah berjuang membela hidup utuk sesuap nasi yang masih belum pasti ada-tidaknya. Di tengah hujan yang masih deras mengguyur Riau Junction ini, aku tersentak melihatnya masih mampu mengukir senyum ketika dirinya menolak pemberian seorang wanita berjilbab di balik mobil sedan sana. Dengan senyuman mengembang gadis itu berlalu meninggalkan wanita berjilbab yang masih tertegun dengan kejadian yang baru saja dilaluinya. Dengan kamera terfokusku, aku menangkap wanita itu meneteskan air mata ketika  perlahan menutup kaca mobilnya. Aku yakin wanita itu pasti bangga dan terharu dengan apa yang dilakukan gadis itu.

“Subhanallah, dibalik tubuh kecilnya dan kerasnya hidup ini, dirinya ternyata memiliki prinsip hidup yang sangat luar biasa. Gadis kecil yang luar biasa, walaupun susah dirinya tiadak mau mengulurkan tangannya di bawah.”kataku dengan lirih. Dan saat ini rasa kagumku semakin besar saja kepadanya.
                                                                        *
Hari ini nampaknya alam tidak mahu bersahabat dengan penghuni alam ini. Sejak pagi tadi hujan tidak mahu berhenti mengguyur bumi Bandung yang biasanya terasa begitu panas di siang hari. Kaki ini rasanya sudah sangat pegal karena berdiri berjam-jam lamanya untuk menunggu hujan reda. Dini, sang pejuang cilik itu masih terus berjuang dengan penuh semangat menawarkan coetnya kepada para pengendara yang berhenti ketika lampu stopan berwarna merah. Aku kembali memasukan kameraku kedalam ranselku. Entah terlalu lama berbenah dan mengatur posisi kamera di dalam ransel, tanpa sadar aku kehilangan suara dari Dini dan kawan-kawannya. Dengan seksama aku mencari menengok kesana kemari untuk menemukan keberadaan mereka. Anak-anak itu menghilang entah kemana, seakan-akan hilang ditelan bumi.

“Kemana anak-anak itu?”kataku penasaran dengan kehilangan mereka yang secara tiba-tiba itu.  Aku terus mencari dari tempatku berdiri keberadaan anak-anak itu, terutama Dini. Tapi sayang jalanan yang cukup padat menghalangi jarak pandangku untuk mencari mereke. Setelah beberapa saat aku mencari keberadaan mereka yang tidak kunjung  ketemu, aku putuskan untuk pulang saja ke kosan karena hujanpun sudah mulai reda.

Bit putihku kini siap meluncur dijalanan macet Kota Kembang ini bersama para pengendara lainnya. Wajahku saat ini agak aku tekuk karena kecewa tidak menemukan keberadaan mereka sebelum aku pulang. Jalanan hari benar-benar macet, membuat bit-ku terkesan tidak bergerak sedikitpun. Ya pantaslah, selain karena seharian hujan, ini adalah waktu pulangnya jam kerja, jadi tidak heran kalau macetnya begitu parah seperti ini.

Dengan tetap terfokus kepada jalanan, aku mencoba mengulang hafalanku di juz 29. Benar-benar malang dan rugi diriku, kepadatan aktivitasa duniawi membuatku melupakan beberapa ayat dari hafalanku.

Astagfirullah, ighfirii Ya Rabb!”[1]kataku dengan penuh penyesalan. Baru beberapa meter saja aku meninggalkan tempatku berteduh, tanpa sengaja aku menemukan kejadian yang sangat membuatku miris. Usaha keras menembus hujan itu kuliahat begitu sia-sia. Dipojok kota sana, seorang preman sedang bertengger di bawah pohon mengambil dengan paksa uang para pejuang cilik yang berjuang dengan keras sejak tadi siang. Dengan enaknya para preman yang terdiri dari tiga orang itu, meminta uang hasil kerja anak-anak itu dengan embel-embel uang keamanan. Anak-anak kecil itu dibuatnya berjejer mengantri untuk memnyerahkan separuh uang dari hasil kerja keras mereka. Kuparkirkan motorku kembali di tempat yang lumayan aman. Maklumlah ini Bandung, bukan Tasikmalaya, sedikit saja melenceng lenyap sudah roda duamu. Apalagi motorku berlatter Z, pasti menjadi sasaran empuk para pencuri-pencuri nakal yang minta dihajar.
Dini kecil, masih ikut mengantri diantrian paling belakang. Wajahnya terlihat ditekuk, seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Satu-perasatu anak-anak gelandangan itu menyerahkan uang yang berembel-berembel uang keamanan. Dengan seksama aku perhatikan bagaiman preman-preman yang bertubuh besar dan kurus itu memperlakukan dengan kasar anak-anak jalanan yang menjual coet itu. Kini saatnya tiba giliran Dini, gadis kecil itu masih menekukkan kepalanya. Dibalik sebuah pohon, aku terus memperhatikan gerak-gerik yang dilakukan ketiga preman itu kepada anak-anak jalanan penjual coet. Sungguh malang nasib mereka, ternyata selain mereka harus bekerja keras untuk mencukupi biaya hidup mereka, mereka juga dipaksa untuk menyerahkan separuh dari hasil kerja keras mereka kepada orang-orang tidak berguna seperti preman-preman itu. Kali ini aku melihat ada perdebatan diantara Dini dan preman-preman itu. Gadis kecil itu nampaknya dengan susah payah mempertahankan uang hasil kerja kerasnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku dapat menangkap, wajah merah padam sang preman karena marah kepada Dini. Gadis kecil itu di dorongnya dengan keras hingga tubuhnya terbanting ke tanah yang basah. “Astagfirullah!”kataku yang kaget melihat semua kejadian itu. Sungguh aku tidak bisa berdiam diri saja melihat pemandangan yang seperti itu. Kulihat preman itu berjalan ke arah Dini yang masih tersungkruk di atas tanah. Anak-anak yang lain tidak ada satupun yang menolong Dini, termasuk Andri. Gadis itu terlihat begitu keras, terlihat jelas dari mimik wajanya supaya dirinya tidak sampe mengeluarkan air mata. Cacian dan makian seakan sudah menjadi hal yang biasa dalam hidupnya. Kerasnya hidup tidak membuatnya lantas menjadi orang yang senantiasa meratapi nasibnya yang malang. Seorang preman bertubuh tinggi besar, menjambak rambut Dini dengan kasar. Dan melihat semua itu aku benar-benar tidak bisa tinggal diam seperti ini saja. Langkah ini terasa ringan, dengan cepat aku sambar tangan preman bertubuh kekar itu dengan sedikit gerakan beladiriku.

“Apa-apaan ini? Seenaknya aja main jambak-jambak anak orang! Abangnya bukan, apalagi bapaknya! Bapaknya ini anak aja belum tentu suka ngejambak anak ini!”kataku dengan geram. Melihatku mementalkan tangannya dari Dini, wajah sang preman berubah menjadi semakin merah padam. Aku yakin preman ini marah luar biasa. Tapi aku tidak peduli seberapa besar marahnya dia, toh, hidup-matiku tidak ditentukan olehnya.

“Heh, maneh teh saha heuh?awewe-awewe balaga? Ek, jadi jagoan di dieu?”[2]kata preman itu dengan nada marah dan meledek.

“Emang saya udah jago, kok! Terutama jago patahin tulang-tulang milik orang-orang yang tidak berguna dan miskin seperti kalian! Seberapa miskin sih kalian? Buat makan aja kok malakin anak kecil, mereka aja mampu cari uang sendiri! Dasar tidak berguna!”kataku semakin geram.

“Wih,wih,wih, lebar-lebar jilbabnya, pedes juga kata-katanya! Untung cantik, jadi marah-marahpun tetep menggairahkan!”kata preman bertubuh kurus.

“Astagfirullah!”kataku sambil mengusap dada.

Alaah, maneh loba bacot, geuwat sikatlah!”[3]kata pereman yang satunya lagi.

Sebenarnya dalam hati ini ada perasaan takut juga, tapi jauh dilubuk hatiku sana keyakinan akan pertolongan dari yang Maha Kuasa jauh lebih besar melebihi rasa takutku kepada tiga sampah masyakarat itu.

“Akhirnya bisa juga aku lampiasan ilmu-ilmu beladiriku ini!”kataku sambil tersenyum sinis.

Kini keadaan menjadi semakin kian mencekam. Kulihat mata Dini kecil yang melihatku dengan penuh khawatir dan harapan. Aku tersenyum kearah gadis kecil itu, untuk meyakinkannya bahwa aku sanggup melawan mereka. Gadis itu tersenyum dengan getir, sambil mengangguk kearahku.

It’s show times, ayo, jangan banyak omong kalian, ayo maju!”kataku sambil mengumpulkan keberanian.

Seorang preman bertubuh kurus tiba-tiba saja datang menyambar tangan dari arah belakang. Tapi itu bukan masalah untukku, cukup kusikut uluhatinya  dengan tangan kananku, saat dirinya mengaduh, aku putar tubuhku kearah belakang tubuh preman itu, lalu kupukul lehernya dan kusapu kakinya dan BRUUUKKK...kini posisi berbalik, preman itu yang kubuat terkapar tak berdaya. Semua anak jalanan yang menyaksikan aksiku tadi bertepuk tangan dengan semangat, rasa takut mereka sepertinya sudah mulai menghilang seiring berjalannya waktu. Aksiku merobohkan salah satu teman mereka nampaknya membuat dua orang preman yang tersisa cukup geram kepadaku. Wajah mereka berubah menjadi merah padam. Semakin marah mereka semakin asyik aku rasakan. Aku benar-benar menikmati semua itu. Kata ayahku dulu, semakin marah lawan kita, maka semakin lemahlah dirinya. Kenapa demikian karena semakin marah lawan kita maka gerakan tubuh mereka menjadi tidak stabil. Itulah kesempatan bagi mereka yang mampu menjaga hawa nafsunya untuk memanfaatkan situasi yang ada.

Tubuh besar bukan jaminan bagi mereka untuk merobohkan tubuh yang kurus, asalkan kita mampu mengikuti gerakan lawan sehingga tubuh besar itu mampu terobohkan dengan sempurna. Si preman bertubuh besar berkepala botak, dengan amarahnya meyerangku sambil berlari. Tidak perlu banyak gerakan merobohkannya, ketika dirinya menyerang kita dengan gerakan seperti itu, kita cukup menghindar dan sapu kakinya atau tendang selangkaan tulang rusuk dengan tendangan menyamping. Itu sudah cukup membuatnya terpental dan tersungkruk ke tanah. Begitulah beladiri, walaupun kita mengenakan rok, akan terasa mudah jikalah kita bisa mengikuti gerakan lawan kita dan kita mempu mengetahui titik lemah dari lawan kita, segalanya akan terasa mudah. Melihat aksiku tadi, preman yang tangannya sempat aku perintir, nyalinya langsung ciut. Dia lari terpontang panting meninggalkan kedua temannya yang masih blom sadarkan diri.
“OMG, malangnya mereka!”aku benar-benar dibuatnya menggelengkan kepala. Tubuh kurus, jilbab lebar, berrok, kayanya bukan masalah untuk merobohkan tiga preman kampung tak berguna itu.

Aku menghirup nafas panjang, tiba-tiba saja aku di kagetkan dengan pelukan dari arah belakangku.

Teteh!” suara lirih dan bergetar samar-samar aku tangkap dari arah belakangku. Sesuatu yang hangat tiba-tiba saja basah menembus bajuku. Kubalikkan tubuhku, aku benar-benar tertegun melihat gadis kecil itu akhirnya menangis sesegukan sambil memelukku. Dengan perlahan aku usap air matanya dan tersenyum kearahnya.

“Jangan menangis! Teteh, gak apa-apa kok!”kataku mencoba menenangkannya. Gadis itu masih saja larut dalam tangisannya. Aku memeluknya erat, ada ketenangan tersendiri ketika tubuh ini memeluk tubuh mungilnya. Tidak lama dari itu tangisan mulai reda, semua teman-temannya tersenyum dan bersorak senang setelah Dini berhenti menangis.

“Eh, udah berhenti nangisnya!”kataku dengan senyum mengembang. Sederet gigi putihnya tiba-tiba terlihat disertai senyuman mengembangnya. Setelah keadaan mulai aman terkendali dan tenang. Preman-preman itu sudah di amankan oleh keamanan setempat, aku mencoba memberanikan diri untuk menanyakan rasa penasaranku.

“Hmm..boleh teteh tanya?”kataku sambil tersenyum. Dini langsung mengangguk ketika aku mengatakan hal itu.

“Teteh mau tanya apa?”katanya dengan senyuman yang begitu manis.

“Kenapa ade tadi tidak mau menyerahkan uang ade sama preman-preman itu?”kataku dengan begitu penasaran.

“Karena aku mau menolong saudara-saudari kita yang terkena musibah di luar sana, teh! Dan aku tidak mau putus sekolah!”katanya dengan senyuman yang mengembang.

Subhanallah, aku benar-benar tidak mampu mengeluarkan kata-kata apapun. Dengan erat kupeluk tubuh kecil itu dan kucium ubun-ubunnya. Dini, gadis kecil ini memang luar biasa. Setiap kesusahannya, tidak menjadikannya menjadi orang yang lupa untuk membantu sesamanya.  Selain itu semangat belajarnya sungguh tinggi, alangkah malunya jika kita yang terlahir dengan segala fasilitis dan kecukupan yang ada, menyia-nyiakan segalanya yang telah diberikan oleh Sang Ilahi Rabbi. Belajarlah untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Dan berusahalah menghadapi kerasnya kehidupan yang keras. Terima kasih Dini, darimu aku belajar banyak tentang hidup, tentang kepedulian dan tentang memperjuangan mimpi dan harapan.
                                                                        *
Setelah kejadian di Riau Junction itu berakhir dengan indah, aku pun kini bersahabat dengan dini, gadis kecil, sang pejuang cilik. Dini masih dengan segala aktivitasnya, menjual coet dengan penuh semangat bersama teman-temannya. Dan aku kini menjadi guru bagi anak-anak jalanan yang ingin belajar banyak tentang ilmu pengetahuan. Semangat meraka adalah semangatku. Dan semoga kisah ini bisa menjadi pembelajaran bagi para pemimpin negerti ini, bahwa masih banyak anak-anak negeri in yang belum merdeka dari kebodohan, yang belum mendapatkan haknya secara penuh. Masih banyak anak-anak negeri ini yang belum merasakan aman hidup. Malulah bagi para pemimpin negeri ini yang hidupnya hanya memakan gaji buta, yang hidupnya selalu berfoya-foya dengan uang rakyat, atau yang hidupnya ditangan hukum tapi bisa berkeliaran bebas hingga berwisata ke Pulau Dewata.

Kuharap senyum itu dan semangat itu akan terus terukir untuk semua pejuang-pejuang cilik di negeri ini, tidak hanya Dini gadis kecil penjuang coet, tapi juga Dini-Dini lainnya.

                                                            -TAMAT-
Bandung, 11 Desember 2010 (Tria M Tresna)


[1] Astagfirullah, maafkan aku ya rabb!!

[2] “Heh, kamu itu siapa heuh? Jadi perempuan kok belagu? Mau jadi jagoan disini?”

[3] “Alah, kamu banyak bicara, cepat sikat!”


2 komentar:

  1. Ukhti, kepanjangan atuwh..buat read more OK!!! ^_^

    BalasHapus
  2. ana blum terlalu ngerti akh tentang app blog...
    gmn cra.a??hehe

    BalasHapus