Rabu, 29 Desember 2010

RAHASIA-NYA

Aku hanya bisa menangis dengan rasa sakit yang menerkam hatiku dengan seketika, tanpa sedikipun aba-aba. Dia kini telah terbujur kaku, tanpa nyawa, yang terlihat hanya sesungging senyum yang begitu  manis dibibirnya. Wanita shalehah, wanita idaman, calon istriku tercinta. 

“Allahu Rabbi, kenapa Engkau memanggilnya dengan begitu cepat tanpa sempat mengukirkan kenangan indah antara kami berdua dalam ikatan suci?”

Sungguh sesak dan perih hati ini hingga aku tidak sanggup mengendalikan gejolak emosiku. Aisyah, baru kemarin aku bisa melihatmu seutuhnya. Baru kemarin kita sama-sama mencoba baju pengantin kita di sebuah butik, baru kemarin aku melihat senyum termanismu walaupun dari jauh. Baru kemarin aku merasakan sebuah kebahagiaan ketika kau menerima lamaranku tanpa syarat apapun. Wahai Aisyah, sulit aku temukan wanita sepertimu. Tubuh ini benar-benar lemas tidak berdaya mendapati kenyataan yang seperti ini. Semua ini terlalu cepat untukku, terlalu berat, aku belum siap kehilanganmu. 

“Butuh 12 tahun untukku menyimpan rasa yang begitu agung untuknya, tapi kini setelah semuanya terbalas. Kenapa Engkau memanggilnya Ya Rabb? Apa salahku?”dalam hatiku aku mengerang. Kini aku tepat berada di depan mayatnya yang telah terbujur kaku. Bidadariku telah pergi dan takan pernah kembali ke bumi.

Dua belas tahun yang lalu, untuk yang pertama kalinya aku melihat dirinya duduk dengan manis di deretan kursi paling depan dalam penerimaan santri dan santriwati baru di pesantren tempatku menimba ilmu. Wajahnya masih begitu polos seperti  anak-anak yang baru menginjak usia belasan tahun. Sorot matanya begitu indah hingga membuat hatiku berdebar-debar ketika sedang tampil membawakan sebuah nasyid dengan grup nasyidku pada malam penerimaan santri baru itu. Itulah untuk pertama kali aku merasakan sebuah perasaan aneh yang cukup mengganggu hati dan pikiranku, yang mungkin sekarang baru kusadar bahwa itu adalah perasaan cinta yang tak halal. Dengan memohon pertolongan Allah dan keridhoan-Nya, aku menjaga kesucian perasaan ini hingga sekarang. Bukan waktu yang sebentar untukku menjaga perasaan ini, memupuknya dengan rasa takut akan kecemburuan-Nya jika aku terlalu berlebihan mencintainya, membingkainya dengan selalu memohon kerihoan-Nya akan rasa yang kusimpan dalam dan lama seperti ini, sehingga tidak sampai ternoda oleh nafsu. Dengan segala kerinduan yang terkadang sangat menyiksa batin ini. Kini setelah segala rasa yang kumiliki terbalas, sedikitpun aku belum merasakan indahnya rasa itu dalam ikatan halal yang tinggal selangkah lagi. 

“Ijinkan aku membalas rasa yang telah terukir itu dengan memohon ridho-Nya!” itulah kata-kata  yang terucap dari bibirnya setelah aku menceritakan perasaanku pada-Nya seminggu yang lalu. Sunggingan senyumannya benar-benar membuat alam bertasbih memuja keelokan akhlaq dan rupanya yang begitu menawan. Entah ini merupakan teguran dari-Nya, entah ini ujian iman untukku, entah ini kemurkaan-Nya yang tanpa sadar aku telah mencintainya tanpa batas. Aku benar-benar bingung dan galau sekarang ini. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Tubuh itu kini telah sempurna terbungkus baju terakhirnya, baju putih yang bersih, yaitu kain kafan.  

“Aku akan mencoba ikhlaskanmu, De! Demi Allah, sejatinya engkau adalah milik-Nya dan Dia jauh lebih berhak memilikimu seutuhnya dari makhluk-makhluknya di muka bumi ini. Afwan[1] atas rasa ini yang terukir sebelum waktunya.” Air mataku kembali melelah membentuk niaga yang mengalir membasahi pipi ini. Aku benar-benar tidak bisa menahannya walaupun telah bersusah payah aku berusaha.
“Ya Rabb, jangan sampai ini bentuk murka-Mu kepada hamba, karena hamba terlalu mencintainya.”kataku lirih.

Kendaraan terakhir untuk Aisyah telah tiba, rumah peristirahatan terkhirnyapun kini telah siap di tempati. Tubuh itu dimasukannya kedalam keranda yang menjadi kendaraan terkhirnya. Bunda Khadjah, ibunya yang begitu dicintai oleh Aisyah dengan senyumannya mencoba menegarkanku. Dia benar-benar begitu tegar kehilangan anak perempuan satu-satunya yang telah ia lahirkan kedunia dan ia besarkan hingga kini. Dia jauh lebih tegar daripada diriku yang baru mengenalnya.
“Jangan menangis, Nak! Berbahagialah kamu, karena calon istrimu telah menadapatkan tempat yang  terbaik, yang benar-benar layak untuknya,  di sisi pemilik sejati-Nya, dari pada di bumi ini. Walaupun Aisyah telah tiada, kau tetap menantuku yang shaleh.”Kata Bunda Khadjah. Kata-katanya benar-benar membuat bulu  kuduk ini berdiri. Air mata ini menyurut seketika dan semangat ini kembali terpacu walaupun dalam pilu.
“Allahu Rabbi, sesungguhnya Engkau Maha Tahu atas apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Mu. Pilu yang kurasa di hati ini semoga tidak menjadi palu yang siap menikamnya lebih keras lagi, hingga mengores luka dan mengikis keimananku atas keyakinanku akan janji Engkau. Sungguh yang tebaik bagiku, belum tentu terbaik menuruti-Mu. Tapi yang tebaik menurut-Mu, pasti terbaik untukku. Hamba mohon kepada Engkau, Aisyah adalah hamba-Mu yang shalehah, maka tempatkan ia di tempat yang layak untuknya.” Itulah doaku kepada-Nya untuk kebaikanku dan keabaikannya.
*
Tasikmalaya, 12 Desember 2010
Subhanallah, hari ini aku dilamar olehnya. Tak pernah kuduga jikalau kami tertakdir untuk bersatu dalam ikatan suci. Ya Rabb, Engkau tentu tahu apa yang kurasakan selama ini adalah utuh terjaga dan semoga tidak ternoda. Selama dua belas tahun lamanya aku menyimpan rasa ini, selama itu juga aku mencoba berlaku adil atas perasaan ini agar Engkau tak pernah cemburu kepadanya. Dia yang selama ini aku nanti kehadirannya di depan  mata, dia yang selama ini aku nanti kehadirannya dalam dalam setiap doa, dia yang selama ini suara merdunya kurindukan dalam sepi, kini datang dengan segala harapan pasti.
Ya Rabb, aku yakin Engkau tahu selama itu aku terus menantinya tanpa pernah sedikitpun berpaling kepada hamba-Mu yang lain. Hamba mohon kepada Engkau ridhoi rasa ini, ridhoi langkah ini dan ridhoi kami untuk hidup bersama hingga kembali  bertemu di surga-Mu dalam ikatan suci.
Wahai Akhi, maafkan aku yang sebenarnya telah lama menyimpan dan mengukir rasa untukmu. Sungguh demi Allah rasa ini hadir dan tidak mau pergi walaupun telah berusaha kuusir dari hatiku. Tapi kini aku bahagia akhi, karena rasa ini ternyata terbalaskan dengan indah. Semoga Allah ridho dengan segala rencana kita.
Sungguh ijinkan aku mencintaimu karena Allah dan memelihara rasa inipun karena-Nya, wahai Akhi Riyadh, calon suamiku.

Air mata ini semakin sulit saja aku bendung. Tulisan terakhir di diary Aisyah itu membuatku benar-benar merasakan perih di hati ini. Allahu Rabbi, ternyata cinta itu sama-sama bersemi dari dua belas tahun yang lalu. Raka merangkul pundakku. Dia adalah adik kesayangan Aisyah, darinya diary itu aku dapat. Sesak menyeruak menghimpit dadaku hingga sempit dan sulit untukku bernafas. Air mata ini sungguh bagaikan telaga yang sulit untuk aku bendung. Membentuk niaga yang tiada henti mengalir.

“Padahal tadi sewaktu bundamu memberi semangat kepadaku, semangat itu sudah mulai hadir. Tapi kini, aku benar-benar tidak berdaya Raka. Rasanya tidak mungkin aku bisa menemukan lagi wanita seperti kakakmu. Astagfirullah, bagaimana caranya aku ikhlas ya Allah?”aku hanya menangis sesegukan, Raka terus mencoba menabahkanku yang tengah duduk di beranda rumah Aisyah setelah pemakaman Aisyah selesai. 

“Sabar, Akh! Mungkin ini adalah yang terbaik untukmu dan teh Aisyah. Di dunia ini tidak ada yang tahu dengan setiap rencana-Nya. Mungkin ini sudah menjadi takdir teh Aisyah meninggal dengan cara seperti itu.”kata Raka yang dengan susah payah mencoba menegarkan hatiku.

“Tapi kenapa harus dengan kecelakaan yang seperti itu? Aisyah terlalu shalehah dan terlalu baik untuk meninggal dengan cara yang seperti itu. Dan kenapa ia harus meninggal menjelang hari pernikahan kami yang tinggal menghitung hari lagi? Apakah aku tidak layak untuknya?”tangisku semakin menjadi saja. Hati ini rasanya benar-benar perih, bahkan perih dan sakitnya menyebar hingga ke seluruh tubuh.

“Astagfirullah Akh, istighfar! Antum tidak boleh seperti itu. Dalam setiapa rencana dan takdir Allah itu pasti ada hikmahnya. Itu harus menjadi sebuah pelajaran bagi kita bahwa, orang shaleh sekalipun tidak terjamin meninggal dengan keadaan terlentang diatas kasurnya. Mungkin teh Aisyah bukan jodoh yang terbaik untuk orang seshalehmu Akhi! Mungkin Allah telah merencanakan jodoh yang lebih baik untukmu. Bukan karena Engkau tidak layak untuknya, tapi karena engkau lebih layak untuk pilihan Allah yang lain. Bersabarlah, jangan sampai karena ini kau kehilangan imanmu.” Raka menepuk pundakku dan berlalu memasuki rumahnya dengan Air mata yang bercucuran pula.

“Astagfirullahal’adzim, ampuni hamba-Mu ini Ya Allah! Betapa dzolimnya hamba berkata demikian kepada-Mu. Betapa tidak tahu malunya hamba-Mu ini Ya Allah!” dengan langkah gontai aku meninggalkan kediaman Aisyah yang mulai sepi. Seketika hujan mengguyur bumi Tasikmalaya yang kini tengah kelabu atas kepergian Aisyah. Dengan sengaja aku biarkan hujan mengguyur tubuhku. Derasnya hujan benar-benar membasahi wajahku. Air mataku yang masih mengalir seketika hanyut bersama butiran-butiran hujan yang membasahi wajahku.

“Wahai, akhi jika aku harus pergi sekarang. To..tolong ikhlaskan aku dan carilah pendamping hidup yang jauh lebih baik dariku. Yang cintanya padamu, tidak melebihi cintanya kepada Allah. Dan ana mohon cintai ia karena-Nya!” kata-kata terakhir Aisyah di Rumah Sakit sebelum ia meninggal itu kembali terngiang di telingaku. Bagaikan dipukul palu godam terngiangnya kata-kata itu di hati ini. Hujan semakin deras, sederas air mataku saat ini. Gemuruh guruh seakan mewakili gemeruhnya hatiku saat ini.
Hari ini 26 Desember 2010, aku benar-benar berduka atas  kepergian dirinya dari dunia ini. Dan hari ini juga akibat kepergiaannya aku hampir kehilangan keimanku. Untunglah Allah dengan cepat menegurku dengan kasih sayangnya. Hingga keimananku itu tidak ikut terkubur bersama dirinya. Semua kejadian ini begaikan tsunami dasyat yang melanda hidupku. Entah karena hari ini tepat dengan peringatan tsunami yang ke 6 tahun. Entahlah, alasan dibalik semua ini adalah rahasia-Nya.
*
Hampir setahun berlalu, tapi pedih ini masih terasa menyeruak di hati ini. Rasa rinduku semakin menjadi membahana mengisi setiap relung hatiku. Andai saja dirinya masih ada, mungkin sekarang kami telah memiliki anak pertama.

“Astagfirullah, Ya Rabb, bagaimana cara hamba melupakan dan mengikhlaskan Aisyah?” hatiku terlalu perih dan terlalu mencintai dirinya.  Hingga saat ini aku belum menemukan wanita seperti dirinya. Berkali-kali aku mencoba untuk berta’aruf tapi ujungnya selalu sama, aku tidak bisa melanjutkannya ketahap yang jauh lebih serius lagi.

Pukul 00.00, aku beranjak menuju kamar mandi. Kuresapi setiap tetes air yang membasahi anggota wudhuku, sungguh aku merasakan ketenangan yang tiada terhingga ketika galau menerpa dan aku berwudhu. Setelah berwudhu, kugelar sajadahku tidak jauh dari tempat tidurku.

“Allahu Akbar!”setiap sepertiga malam aku memang terbiasa shalat malam. Hanya dengan cara ini segala kegalauan, segala kerinduan kepada Aisyah dan segala rasa sakit yang menggores hatiku setelah kepergian Aisyah, bisa menghilang dan aku mendapatkan kedamaian yang tiada terkiara. Sesungguhnya aku sadar aku belum menajdi hamba-Nya yang baik, aku masih jauh dari apa yang orang-orang katakan tentang keshalehanku. Sungguh aku sangat takut dengan apa yang dibincangkan mereka tentang keshalehan-kesahalehanku yang sungguh tidak layak mereka julukan kepadaku. Aku takut kefuturan menyergap hatiku tanpa aku sadari. Lihatlah sekarang ini pun aku mungkin terjebak dalam kefuturan dan bahkan setahun lalu aku terancam kehilangan keimananku. Betapa aku takut menjadi orang yang merugi yang hidup dalam kefuturan.

“Kullu man ‘alaihaa faaniw, wa yabqoo wajru rabbika dzuljalaa liwal ikrom. Fabi ayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan!”[2] bulu kudukku setika berdiri ketika ayat ini aku bacakan dengan penuh khusuk. Ya Allah, kesedihan ini membuatku lupa bahwa apa yang ada di bumi ini pasti akan binasa. Air mataku mengalir tiada henti. Perasaan sangat berdosa kepada-Nya sudah tidak bisa aku hindari. Setelah delapan rakaat shalat tahajud dan 3 rakaat shalat witir aku kerjakan, aku duduk tertunduk malu di atas sajadahku. Air mataku tidak bisa aku bendung dengan apapun dan cara apapun. Malu rasanya diriku kepada-Nya.  Betapa Allah begitu baik kepadaku selama ini, tapi aku justru melupakan segala kebaikan dan kasih sayangnya karena duka mendalamku ditinggalkan Aisyah untuk selamanya.

“Allahu Rabbi, ampuni segala kelemahan dan kefuturan hamba selama ini. Tanpa sadar hamba telah berjalan jauh melucuti keimananku dan melupakan segala kasih sayang-Mu. Betapa tidak tahu dirinya hamba-Mu ini Ya Rabb. Engkau yang begitu mencintaiku dengan penuh setia, malah hamba acuhkan untuk meratapi kesedihan hamba karena kehilangan dirinya. Allahu Rabbi, hamba akui hamba masih belum ikhlas kehilangan dirinya yang di bumi ini begitu sangat hamba cintai. Hamba tahu sekarang, inilah jalan terbaik untuk hamba. Jikalau Aisyah masih hidup dan menjadi pendamping hamba, mungkin kefuturan hamba akan lebih jauh lagi. Rasa cintaku akan jauh lebih besar kepadanya daripada kepada-Mu.  Dan itu yang sungguh tidak diinginkan-Mu dan Aisyah. Allahu Rabbi, saksikanlah hamba malam ini, detik ini, untuk mengikhlaskannya. Hamba ikhlas Engkau ambil dirinya, hamba ikhlas. De, Akhi ikhlas kau pergi tinggalkan akhi. Tenanglah disana, De!” 


Subhanallah, malam ini Allah benar-benar melapangkan dadaku. Segala kesedihan dan gemuruh di hati ini sirna sudah dalam sekejap mata. Senyum mulai mengembang di bibirku. Walaupun mataku sembab, setidaknya ketenangan dan kedamaian di hati ini telah aku dapatkan kembali. Air mataku mengalir, ini bukanlah air mata duka dan pilu, melainkan air mata kebagiaan atas kemenanganku meraih kedamaian di hati ini. Aku bersujud atas segala anugerah terindah ini. Sujudku bukan sekedar sujud sebagai rasa syukurku kepada-Nya, tapi sebagai bentuk penghambaanku kepada-Nya. Dan aku ingin malam ini menjadi saksi bahwa aku bahagia atas kedamaian yang telah di kembalikan-Nya. Aku berharap jikalau nanti tiba saatnya aku kembali, aku ingin kembali kepada-Nya dengan rasa yang aku miliki sekarang ini.

“Aku ikhlaskan hidup ini kepada-Mu Ya Rabb, dan jikalau Engkau ridho, aku iidak ingin menunda waktu untuk segera kembali kepada-Mu seperti kembalinya Aisyah kepada-Mu!”
.
*
Pagi ini matahari bersinar dengan begitu indahnya menyinari bumi Tasikmalaya. Alam seakan tersenyum manis tanpa sedikitpun beban yang menghimpitnya. Mendung kini tidak terlihat kembali menghiasa pagi di kota ini. Fatimah, Ibunda Riyadh telah cantik dengan gamis kuning keemasannya. Dengan cantik pula dirinya menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya yang begitu dicintainya.

“Assalamu’alaikum, Riyadh!! Bangun, nak! Ummi udah siapin sarapan kesukaanmu.” Kata Ummi Fatimah sambil mengetuk pintu kamar Riyadh yang masih tertutup rapat. Untuk pertama kalinya Fatimah benar-benar merasa heran dengan anak laki-laki satu-satunya yang begitu disayanginya. Riyadh tidak seperti biasanya, jam segini masih menutup pintu kamarnya. Biasanya Riyadh selalu bangun lebih awal daripada dirinya, bahkan dia yang selalu menyiapkan sarapan pagi untuk keluarganya. Dengan perlahan, Fatimah membuka pintu kamar anaknya. Dilihatnya tempat tidur Riyadh yang telah rapih. Fatimah benar-benar kaget tidak mendapati sosok anaknya di tempat tidurnya. Dengan seksama dia mencari sosok Riyadh dan ...

“Astagfirullah, Riyaaadh!!”Fatimah langsung berlari kearah sosok tubuh Riyadh yang telah kaku dalam keadaan bersujud di atas sajadahnya. Dengan panik Fatimah memeriksa, denyut nadi Riyadh dan nafasnya.

“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun! Riyaaaaadh!” dengan lemas Fatimah memeluk Riyadh dengan begitu erat. Bapak Halim, suaminya, dan Laila, adik perempuanya, langsung berhamburan membeluk Ummi Fatimah dan Riyadh yang kini terlah terbujur kaku tanpa nyawa dalam sujudnya kepada Sang Ilahi Rabbi. Riyadh pergi menyusul Aisyah, tepat di tanggal yang sama. 26 Desember. Wajahnya begitu tenang dan bercahaya. Sesungging senyum terukir begitu manis, seakan-akan dirinya telah bertemu dengan sosok yang selama ini begitu dirindukannya. Begitulah kuasa Allah kepada setiap hamba-hambanya. Tidak ada yang tahu bagimana Dia memanggil kembali hamba-hambanya.  Keikhlasan di hati Riyadh telah membuatnya bertemu dengan bidadari yang begitu dicintai. Mungkin Allah tidak  ingin menyatukan mereka di bumi ini. Mungkin Allah ingin menyatukan mereka di tempat yang lebih layak untuk mereka. Keikhlasan Riyadh adalah kunci bagaimana Allah ingin menyatukan mereka disisi-Nya.

Itulah rahasia Allah, tidak ada satupun yang mengetahui apa yang ada dibaliknya. Hanya oleh mereka yang benar-benar ikhlas menjalani setiap cobaannya yang diberikan-Nya, yang mempu memecahkan apa yang ada dibaliknya. Jangan pernah sedikitpun lari dan menjauh dari setiap rencana-Nya, jalanilah segalanya dengan ikhlas untuk membuka tabir di balik rencana yang dirahasiakan-Nya. Karena dengan cara begitulah cara Allah mencintai dan mendidik kita untuk menjadi hamba-Nya yang beriman. Wallahu’alam bisshowab..
-Tamat-
Singaparna, 30 Desember 2010
Created by Tria M Tresna


[1] Afwan = maaf, dalam bahasa arab afwan bisa memiliki dua arti tergantung bagaimana penempatannya. Selain memiliki arti sebagai “maaf”, afwan juga bisa di artikan “sama-sama”.
[2] QS. Ar-Rahman : 26-28. “26. Semua yang ada di bumi itu akan
binasa, 27. Dan tetap kekal zat Tuhan-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. 28. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang akan kamu dustakan.”

8 komentar:

  1. Subhanallah....
    Cerpen yg sangat indah ukhti...

    ^_^

    BalasHapus
  2. kaya akan hikmah dan mnyentuh hati....

    BalasHapus
  3. agak sama dengan cerita dalam mihrab cinta,,,heuheu,,

    BalasHapus
  4. @Akh Fachri : jazakallah akh!!
    Ayo, terus berkarya+terus berusaha u/ menghasilkan karya yg terbaik...spirit for me 'n all!! ^_^
    @akh hisan : adeuh...ieu c'akhi aya2 wae komentar.a... jg.a cerpen ana nu berikut.a d'samain ma BUMI CINTA...heuheu
    v ora opo2...semangat memicu semangat diriQ u/ trus berkarya...SEMANGAT!! ^_^

    BalasHapus
  5. Siip!! ^_^

    owh, ya akh article yg "Bukti Kehebatan Wanita",bner2 TOP, bner2 patut d'bca oleh seluruh wanita,, ^_^

    BalasHapus
  6. indah banget kak :)

    Jadi pengen buat juga

    BalasHapus