Senin, 23 Mei 2011

Allah Menjagaku dengan Jilbab dan Pakaianku dari Mimpi-mipiku


Allah Menjagaku dengan Jilbab dan Pakaianku dari Mimpi-mipiku
“Inna mal ‘amalu bin niat, wa inna mal likullimri-in maa nawaa...”
-Segala amal itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan niatnya-
Semoga Allah memberikan keberkahan dan keridhoannya untuk tulisan ini, dan semoga Allah membukakan mintu hikmah kepada mereka yang dengan niat lurus membaca catatan ini. Semoga Allah pun menjaga niatanku ketika membagikan tulisan ini, karena sungguh aku hanya ingin berbagi dan menjadi orang bermanfaat untuk duniaku.

Ketika itu tepat ketika aku mulai menginjakan kaki sebagai mahasiswa baru di sebuah Intitut yang bernaungkan pada sebuah yayasan milik salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Negeri ini. Semua orang memandangku dengan tatapan begitu aneh, seolah ada pandangan yang beda dihadapan mereka. Jilbabku yang lebar, pakaianku yang longgar, itulah yang mungkin dipertanyakan oleh mereka. Ya aku memang satu-satunya orang yang beda di kampusku yang serba menggeluti dunia teknologi yang semakin modern. Disaat orang-orang sibuk mengenakan pakaian yang nyeleneh, disaat para wanita sibuk memikirkan trend pakaian saat kini dan disaat para laki-laki senang dengan baju kemeja yang lengkap dengan jas berdasinya, aku bersandar dengan pakaian yang diperintahkan oleh-Nya. Aku tersenyum seketika ketika salah satu rekan sekelasku memandangku dengan tatapan yang bingung dan aneh.
Aku tidak teralalu menghiraukannya, ya beginilah identitasku. Identitas sebagai seorang muslimah. Dan aku memang harus terus bertahan dengan semua yang ada dihadapanku ini. Aku hanya ingin mencari ridho Allah dalam setiap hembusan nafas dan kedipan mataku, bukan mencari pujian manusia atau mencari perhatian manusia, yang aku cari hanya keridhoan-Nya, perhatian-Nya dan pandangan-Nya kepadaku yang luput dalam lautan dosaku. Ini barulah awal dari perjuanganku, aku masih harus merangkak lagi untuk bisa jongkok, merunduk dan berdiri untuk menjadi muslimah yang sejati.
Dulu aku memang pernah mengenyam pendidikan di sebuah pesantren, namun karena kondisiku yang sering sakit-sakitan hingga ilmu yang kudatapat tidaklah maksimal. Lantas aku pindah sekolah ke sekolah negeri, disana perjuangan yang sama juga menghapiriku seperti halnya kini. Sungguh disanalahh perjuangan yang sangat luar biasanya, hingga aku menemukan sahabat yang luar biasanya. Kami sama-sama berjuang, berhijrah untuk menjadi muslimah yang terbaik. Dari berusaha membiasakan diri untuk tidak bersalaman dengan kaum adam, dari mulai membiasakan dirinya mengenakan kaos kaki dan manset di tangan setiap mau pergi kemana-kamana, dari memutuskan untuk mengikuti program tarbiyyah, dari berprestasi bersama dan masih banyak lagi perjuangan kami berdua itu hingga, jika aku bayangkan sekarang, sesungguhnya itulah nikmat yang sangat luar biasa itu.
Menginjak SMA, kami sekolah di SMA yang sama tapi dengan kelas yang terpisah jauh. Sebenarnya aku kala itu lebih menginginkan untuk masuk kelas yang biasanya saja dan tidak bertitle SBI atau apalah  nama. Bagiku duduk di kalas yang diunggulkan itu jauh lebih berat tekanannya di bandingkan dengan perjuangannya, aku lebih merasa seperti robot yang terus dipaksa untuk berprestasi agar tidak mendapat cemo’ohan dari kelas yang lain dengan segala kamuplase yang dibuat-buat untuk menutupi segala kekurangan kami. Ah, perjuangan itu terasa hampa kala itu. Tidak ada semangat berjuang seperti halnya sewaktu SMP dulu, semangat berjuang untuk menjadikan kelasku sebagai kelas yang setara paling tidak dengan kelas unggulan awalaupun menjadi kelas paling ujung, bahkan tak jarang dikatakan sebagai kelas buangan. Aku justru lebih suka seperti itu, sehingga aku tahu bagaimana caranya berjuang. Seiring dengan berjalannya waktu semua prestasi akademikku turun secara drastis, intinya aku tidak pernah mengenyam sebagai juara pertama sewaktu SMA, jangankan juara pertama masuk sepuluh besarpun tidak. Aku benar-benar kehilangan semangat kala itu. Intinya aku lebih mirip seperti seorang pecundang yang tidak mengenal apa itu prestasi. Semangatku mengendor seiring dengan kefuturan yang aku alami. Sungguh sedih jika aku bayangkan sekarang, karena kefuturan itu telah menjamah seluruh prestasiku bukan hanya di mata manusia tapi juga di mata Allah. Ampunilah hamba Ya Allah. Semenjak murobiyyahku yang kala itu seorang dokter harus pindah tugas ke Garut, lengkap sudah kebobrokanku, aku tidak lagi mengikuti rutinitas seperti liqo, aku juga asing dengan IREMA yang ada di sekolahku, aku tidak menemukan kedamaian untuk mengikuti kegitan itu, ada hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsipku. Untunglah Allah masih menjagaku dengan prinsip-prinsipku kala itu. Kala itu akau kesulitan untuk berprestasi dalam bidang akademis, aku lelah dan akhirnya aku lebih cenderung aktif di salah satu organisasi beladiri di sekolahku. Kala itu aku berpikir, tak apalah aku tidak berprestasi dalam akademikku, setidaknya aku harus mampu mngukir prestasi di sini. Semua orang di kelasku adalah orang-orang yang luar biasa, tak jarang aku menyebut mereka si jenius. Pantaslah aku sebut mereka jenius, rata-rata dari temanku adalah orang-orang yang sangat berprestasi di sekolahnya masing-masing, tak jarang mereka adalah penyabet juara umum setiap tahunnya. Sedang aku, hanya keberuntungan saja bisa menyabet juara pertama berturut-turut sewaktu SMP, sedang sewaktu SD aku konstan pada 10 besar kecuali untuk di sekolah agamaku, mungkin aku terbilang sangat beruntung bisa menyabet juara pertama dan juara umum kala itu, bisa menyabet semua kejuaraan yang diadakan oleh sekolah agamaku, dari mulai lomba qira’ah, kaligrafi, pidato, menghafal al-quran, cerdas cermat dan lain sebagainya, hingga menyabet juara umum dan favorite karena kala itu semua perlombaan juara pertamanya disabet olehku. Ah, kini aku jauh berbeda. aku jauh dari segala bentuk prestasi, hingga yang terakhir kali aku menukir prestasi yang paling besar dan berharga dalam hidupku sewaktu SMA dulu. Aku lulus sebagai peserta ujian terbaik di salah fakultas kedokteran di Jakarta. Rasanya mimpiku telah di depan mata. Mimpi selama 14 tahun yang terus aku ukir, aku bingkai dan aku perjuangkan. MIMPIKU MENJADI SEORANG SPESIALIS DOKTER ANAK YANG HEBAT, MEMBANGUN RUMAH SAKIT TERBESAR DI ASIA HINGGA AMERIKAPUN TAK MAMPU BERKUTIK DENGAN KECANGGIHAN DAN LAYANAN YANG DIBERIKANNYA. Itulah mimpiku, aku ingin membangunn rumah sakit yang adil, dimana tidak ada lagi orang-orang yang kurang mampu mendapat pelayanan yang kurang baik karena masalah administrasi. Semua dokter dan perawatku haruslah mereka yang peduli terhadap sesamanya, yang selalu tulus dalam bekerja, yang selalu berniat bukan untuk mencari uang tapi justru MEMBATU setiap pasient yang datang. Setelah berbulan-bulan aku menangis dan larut dalam setiap doaku di kala malam menjelang, aku tidak tidur semalaman untuk mengerjakan soal-soal penyaringan ujian masuk kedokteran. Tapi begitulah jalan Allah, tidak ada yang tahu, keluargaku kala itu sangatlah kritis keuangannya akibat aku mengikuti banyak test masuk kedokteran dimana-mana, hingga ketika aku lulus di kedokteran, uang tabungan ayahku habis dan tidak cukup untuk membayar uang masuk kedokteran yang kala itu lumayan cukup mahal walaupun telah mendapatkan beasiswa dari prestasi sebagai peserta ujian terbaikku kala itu.  Dengan susah payang ayahku mencoba meminjam uang kesana kemari, tapi hasilnya nihil tidak ada yang meminjami kami. Berhari-hari aku menangis hingga mataku benar-benar bintit dan ketahuan oleh ibuku karena saking bintitnya. Padahal sebelumnya aku adalah orang yang tidak bisa menangis di hadapan orang tuaku terutama ayah dan ibuku. Aku berusaha bersikap baik-baik saja, tapi sebenarnya hingga saat ini aku tidak pernah baik-baik saja. Aku coba mengukir senyum setiap kali orang bertanya dan menyayangkan keputusanku untuk masuk ke tempat aku kuliah saat ini. Tapi inilah jalan-Nya, tidak ada yang tahu dengan jalan takdir setiap orang. Ada alasan lain sebenarnya kala itu untuk aku terus berjuang. Guruku. Ya aku ingin membuktikan kepada wali kelasku kala SMA bahwa aku mampu membuatnya mengatakan, “Aku bangga padamu, Nak!”. Siapa yang sanggup menahan perih di hati ini. Sebelumnya aku dengan begitu bersemangat mengatakan kepadanya, “Bu, saya lulus masuk kedokteran dengan peserta ujian terbaik!” dan ia pun mengatakan apa yang aku inginkan. Kata-kata itu hanya bertahan sebulan saja, selebihnya aku terpuruk. Aku lulus sebanyak 2 kali di kedokteran umum dan satu kali di kedokteran gigi, tapi 2 kelulusan itu sengaja tidak aku kabari kepada orang tuaku karena memang kondisi keuangan kami yang kala itu sangat tidak mendukung, lagian ayahku juga harus menyiapkan uang untuk biaya masuk adikku ke pesantren plus, jadi aku merasa tidak tega. Selain itu aku lulus juga di jurusan farmasi di Yogyakarta, tapi akupun tidak ambil karena selain mahal biayanya, aku pun tidak pernah berniat menajadi apoteker. Kala itu aku berusaha untuk bisa kuliah dengan biaya yang bisa terjangkau oleh ayahku, mau dimanapun dan jurusan apapun, yang penting aku bisa kuliah, hingga aku memutuskan untuk mengikuti test SMBB di tempat aku sekarang kuliah dan aku benar-benar kebingungan ketika aku di umumkan lulus. Karena aku tidak pernah punya keingin dan mimpi untuk melanjutakan studi di sini. Dunia IT terasa asing bagiku, bahkan aku sangat tidak tahu apa-apa di dunia ini. Aku tidak lagi menemukan yang hidup, yang kulihat hanya benda-benda mati tidak berseri, kaku dan bisu. Tidak ada pelajaran biologi yang sangat aku suka. Tidak ada kehidupan yang nyata dalam mata kuliah yang aku pelajari selain perangkat mati dan kabel-kabel yang berserakan dimana-mana.
Aku masih ingat, waktu itu hari perpisahan SMA-ku. Dengan tiba-tiba saja aku disebut sebagai salah satu siswi yang lulus di fakultas kedokteran. Sebuah piagam mereka siapkan untukku, tapi apalah gunanya, aku tidak berminat sama sekali dengan piagam itu. Tatapanku seketika hampa dan senyumku menjadi sumbang. Apalah arti semua itu, jika aku adalah pecundang kala itu. Pecundang yang tidak berhasil mempertahankan mimpinya selama 14 tahun, pecundang yang hanya pasrah dengan takdir dan pecundang yang tidak pernah tahu harus apa kedepannya setelah mimpinya terkubur oleh ketidakadilan dan kerasnya jaman.














Kala itu aku mencoba bangkit, aku mencoba menangis sejadi-jadinya, aku mencoba memfokuskan pandanganku, semua itu aku lakukan hanya untuk melupakan mimpi-mimpiku, meringankan segala ganjalan di hatiku, hanya untuk mengukir senyum kembali. Merasa semua perjuanganku telah usai, dan aku kini berjalan dengan kehampaan dengan semangat yang aku kamuflase hingga orang akan menafsikanku sebagai orang yang mampu melupakan mimpi-mimpi lamaku dengan mudah dan juga mudah membangun mimpi-mimpi baru. Sebenarnya, semenjak saat itu aku jadi sangat benci dengan rumah sakit dan selalu mengeles jika aku sakit. Aku tidak pernah mau jika sakit harus pergi kedokter, aku tidak permau melihat orang-orang yang berpakaian seperti seorang dokter dan aku hanya bisa berlari dari semua itu hingga sekarng. Begitulah diriku yang hidup bagaikan pecundang.
Masih jelas dalam ingatanku kala aku menolong seseorang yang sakit dijalanan, mereka bertanya bahwa aku seorang dokter atau mahasiswa kedokteran, bukan?, aku hanya bisa tersenyum pahit kala itu dan momohon ijin pamit pulang kepada mereka. Rasanya seperti sinetron hidupku ini. Dengan motorku aku sengaja memilih jalanan yang sepi, aku menangis sambil mengendarai sepeda motorku dan semua yang tahu kala itu hanya aku dan Allah.
Beberapa bulan dari sejak aku masuk kuliah, orang-orang terdekatku masih sering memanggilku sebagai “Ibu Dokter”, entah kenapa mereka memanggilku begitu apakah karena semangatku yang dulu? Ataukah hanya ingin menghiburku? Ataukah karena aku begitu care dengan kesehatan mereka? Akupun tidak tahu, yang jelas aku kala itu aku sangatlah terluka setiap kali orang memanggilku seperti itu.  Deretan buku-buku mengenai kedokteran yang telah aku kumpulan bertahun-tahun, kini sudah tidak lagi aku lihat berderet rapi, semua aku simpan dalam kardus khusu supaya aku benar-benar tidak membukanya lagi, karena dengan begitu aku akan seperti sekarang ini, seperti orang gila yang telah kehilangan mimpinya. Dan seperti anak kecil yang terus merengek kepada ibunya, ketika berdoa kepada Allah untuk mengembalikan mimpiku. Aku yakin Allah mendengarku, tapi mungkin Allah punya rencana terbaik untukku hingga semua doaku tidak dikabulkan-Nya.
Hal terbodoh setelah kejadian satu tahun yang lalu, aku jadi takut untuk berdoa kepada Allah. Aku takut kecewa seperti ketika aku  tidak mendapatkan mimpiku. Sungguh betapa bodohnya aku. Ya Allah aku merasa berdosa sudah hingga saat ini. Ternyata Allah masih begitu sayang kepadaku, setelah semua keterpurukan itu, cahaya hidayah nampaknya datang merasuki hatiku. Aku kini mampu berdiri kembali, berusaha membangun mimpi baru. Jika dulu aku begitu ingin sekolah kedokteran ke FU Berlin-German, mungkin saat ini aku akan kembali mengukir mimpiku untuk bisa sekolah Enggineer ke Jepang. Biarlah cukuplah Allah yang menuntutku mencari mimpiku. Sekarng aku hanya ingin dekat dengan-Nya, merajut cinta dengan-Nya, mengukir ukhuwah bersama abdi-abdi-Nya, menciptakan kerinduan dalam setiap hembusan nafasku hanya kepada-Nya. Biarlah waktu yang menjawab, akan jadi apa aku kelak, dokterkah, enggineer kah, penulis kah, atau seorang giru ngaji anak-anak kecil, aku akan terima dengan lapang dada, karena aku menginginkan cinta-Nya yang tanpa batas.
Sejak kuliah, keputusanku mengenakan jilbab yang lebar dan pakaian yang longgar cukup membuat teman-temanku memprotesnya,  bahkan aku pernah menolak mengikuti suatu acara yang sangat aku inginkan karena aku arus mengenakan celana dan jilbab yang seadanya saja bersama keluargaku. Aku banyak menerima komentar, dengan penampilanku seperti ini aku terlihat lebih tua dan tidak cantik, bahkan ada yang menyangsikanku bahwa kelak aku akan sulit mendapatkan pekerjaan, jodoh dan sebagainya. Biarlah orang mau berkata apa yang pasti aku tetap berdiri kokoh untuk selalu istiqomah dengan apa yang aku yakini  kini, walaupun aku masih sering terjatuh. Tak penting bagiku cantik di mata manusia, tapi sungguh aku ingin cantik di mata Allah.  Biarlah semua cita-citaku tidak bisa aku capai, yang terpenting aku mendapatkan saudara dan saudari yang selalu menyemangatiku untuk tetap berdiri kokoh memperjuangkan agama ini. Tidak peduli orang membenciku dengan segala pilihan yang kulalui dan ketegasan perkataanku, yang penting Allah menyayangiku.  Terimakasih Ya Rabb, Engkau telah menjagaku dengan jilbabku ini. Engkau lindungi aku untuk tidak terlena dengan dunia ini dengan jilbab ini, Engkau lindungi aku dari segala kekejaman jaman yang mendekatkanku dengan perbuatan zina denga jilbab ini dan Engkau lindungi aku dari segala hal yang buruk sehingga aku mampu seperni sekarang ini, berdiri kokoh dengan segala prinsip hidupku dan aku sangat bersyukur karena Engkau menganugerahkanku guru-guru terbaik sehingga aku menjadi berprinsip seperti sekarng ini, juga orang tua yang sangat luar biasa hingga hatiku tidak sekeras batu dalam menyikapi segala keinginanku. Sungguh tidak ada nikmat yang bisa aku dustakan kini dari-Mu. Sekali lagi aku ucapkan beribu terima kasih kepada-Mu dan kepada saudara-saudariku, sungguh aku mencintai kalian karena Allah. Jazakallah khoiron katsiro.


Bandung, 23 Mei 2011   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar